Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #21

Perangkap dalam Rumah

Keheningan Willem setelah insiden di pasar adalah keheningan seekor pemangsa yang telah melihat mangsanya, namun memilih untuk tidak langsung menerkam. Ia menikmati permainannya. Ia tidak lagi menginterogasiku. Ia tidak lagi menebar umpan-umpan kecil untuk mengujiku. Ia justru kembali pada perannya yang paling mengerikan: peran sebagai tuan yang lembut dan seorang ayah yang memuja.

Sandiwara ini ia mainkan dengan kesempurnaan seorang dalang yang kejam, dan aku adalah wayangnya yang dipaksa menari di atas panggung yang terbakar.

Setiap pagi, ia akan membawakanku bunga dari taman. Bunga mawar putih yang kelopaknya tampak murni seperti kebohongan. Ia akan memuji masakanku meskipun aku tahu ia tidak merasakan apa-apa selain rasa pahit kemenangannya yang tertunda. Malam hari, ia akan duduk di tepi buaian Annelies, membisikkan kata-kata cinta dalam bahasa Belanda, suaranya yang rendah dan merdu adalah sebuah melodi yang meninabobokan putriku, namun menjadi teror sunyi bagiku.

Ia sedang memainkan sebuah sandiwara yang sempurna, dan aku tahu, tirai untuk babak terakhir akan segera dibuka. Setiap sentuhannya terasa seperti usapan sutra dari tangan seorang algojo.

Pengumuman itu datang seminggu kemudian, di saat aku hampir pecah oleh ketegangan yang tak terucap. Dengan senyum lebar yang tak pernah mencapai matanya, senyum yang hanya meregangkan kulit di sekitar bibirnya, ia memberitahuku bahwa ia akan mengadakan sebuah jamuan makan malam besar.

"Hanya een kleine viering, perayaan kecil," katanya, nadanya ringan saat ia mengamatiku menyulam. "Untuk merayakan onze familie, keluarga kita. Dan untuk menunjukkan pada kolega-kolegaku di Semarang bahwa hidup di Pringgala tidak seburuk yang mereka kira."

Sebuah perayaan.

Aku tahu itu adalah sebuah kebohongan.

Ini adalah panggung yang sedang ia bangun.

Sebuah pengadilan tanpa hakim, di mana aku akan menjadi terdakwa sekaligus trofi kemenangannya.

Dan aku akan menjadi aktris utamanya, entah aku suka atau tidak.

Hari-hari menjelang jamuan itu adalah sebuah siksaan dalam kemewahan. Rumah ini diubah menjadi sebuah istana kecil. Para pelayan berlarian, memoles perabotan perak dan kristal hingga berkilauan di bawah cahaya matahari. Koki tambahan didatangkan dari Semarang, seorang lelaki Tionghoa gemuk yang berteriak-teriak dalam bahasa Melayu pasar, memenuhi dapur dengan aroma masakan mahal, daging panggang yang dibumbui pala, mentega yang dilelehkan dengan bawang putih, dan anggur merah yang dituangkan ke dalam saus.

Aroma kemakmuran ini terasa seperti bau busuk di hidungku, sebuah parfum yang disemprotkan untuk menutupi bau mayat dari rencananya. Aku melihat Ratna bekerja dalam diam, wajahnya sekeras batu. Mata kami sesekali bertemu, dan dalam sekejap itu, kami berbagi sebuah pemahaman yang sama: ini adalah ketenangan sebelum badai.

Dua hari sebelum jamuan, sebuah kereta kuda militer dengan dua penjaga bersenapan berhenti di depan rumah. Mereka datang sebagai pengantar surat. Mereka mengantarkan sebuah kotak kayu kecil yang disegel dengan lilin merah Kerajaan Belanda. Willem menerimanya sendiri, dengan sebuah formalitas yang dibuat-buat. Ia langsung membawanya ke ruang kerjanya. Dari balik pintu yang sedikit terbuka saat aku lewat, aku melihatnya membuka kotak itu. Di dalamnya, terbaring setumpuk dokumen yang diikat dengan pita merah, distempel dengan lambang singa yang angkuh.

Lihat selengkapnya