Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #22

Pencurian Terbesar

Genggaman tangan Willem di atas meja terasa seperti belenggu baja. Senyumnya yang penuh kemenangan adalah jeruji penjara yang tak terlihat. Di sekelilingku, para tamu tertawa dan bersulang untuk "istri" barunya, tawa mereka terdengar seperti genderang perang di telingaku. Aku terjebak. Setiap detik yang kuhabiskan di sini, di kursi kehormatan neraka ini, adalah detik yang mendekatkan ribuan orang pada kematian mereka.

Dokumen itu.

Pikiranku terus berputar kembali pada tumpukan kertas yang terikat pita merah di ruang kerja Willem.

Perintah Pasifikasi.

Aku harus mendapatkannya.

Aku butuh sebuah alasan. Sebuah pengalih perhatian yang begitu kuat hingga bahkan paranoia Willem pun akan tunduk padanya. Dan di dunia ini, aku hanya punya satu senjata seperti itu.

Aku mencondongkan tubuhku ke arah Willem, meletakkan tanganku yang bebas di atas genggamannya. Aku menatapnya dengan sorot mata yang kubuat penuh dengan kecemasan seorang ibu. "Meneer," bisikku, suaraku sengaja kubuat sedikit bergetar. "Annelies ... saya belum memeriksanya sejak tadi. Biasanya jam segini ia akan terbangun untuk menyusu. Saya khawatir ia menangis."

Willem mengerutkan keningnya, sedikit terganggu karena perayaan kemenangannya diinterupsi. "Ada babu yang menjaganya, Laras."

"Saya tahu," lanjutku, kini aku membiarkan sebutir air mata menggenang di pelupuk mataku. "Tapi Meneer tahu sendiri, ia hanya akan tenang jika bersama saya. Hati seorang ibu ... tidak bisa tenang, Meneer. Maafkan saya."

Aku telah menekan tombol yang tepat. Annelies. Putrinya yang berharga. Kelemahannya yang terbesar. Aku melihat perjuangan di matanya: antara keinginannya untuk terus memamerkanku di hadapan para tamunya, dan insting protektifnya terhadap putrinya. Insting protektif itu menang.

Ia menghela napas, melepaskan genggamannya. "Baiklah," katanya, nadanya sedikit kesal namun penuh pengertian. "Ga snel. Cepatlah. Jangan biarkan para tamu menunggu terlalu lama."

"Terima kasih, Meneer," bisikku penuh syukur. Aku bangkit dari kursiku, membungkuk hormat pada Tuan Residen, lalu berjalan keluar dari ruang makan. Aku bisa merasakan tatapan semua orang menusuk punggungku. Aku berjalan dengan langkah yang anggun dan tidak tergesa-gesa, seolah aku benar-benar hanya akan pergi ke kamar Annelies.

Namun, begitu aku keluar dari pandangan mereka dan berada di lorong yang remang-remang, aku berubah. Aku bukan lagi seorang ibu yang cemas. Aku adalah seekor pemangsa yang bergerak dalam sunyi. Aku tidak berbelok ke arah kamar Annelies. Aku berbelok ke arah sarang singa: ruang kerja Willem.

Pintunya tidak dikunci. Jantungku berdebar begitu kencang hingga terasa sakit di rusukku. Aku menyelinap masuk dan menutup pintu di belakangku dengan sangat pelan, tanpa suara. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh seberkas cahaya bulan yang menembus jendela. Bau tembakau dan kertas tua terasa pekat.

Aku tidak menyalakan lampu. Terlalu berbahaya. Dengan mengandalkan cahaya bulan dan ingatanku, aku bergerak menuju meja kerjanya yang besar. Dan di sanalah ia. Tumpukan dokumen itu tergeletak dengan angkuh, pita merahnya tampak seperti nadi yang berdenyut dalam kegelapan.

Lihat selengkapnya