Pesta berakhir dalam keheningan yang memekakkan. Suara kereta kuda terakhir yang menjauh terdengar seperti gema perpisahan dengan duniaku yang lama. Para tamu pulang dengan perut kenyang dan kepala yang dipenuhi anggur, meninggalkan rumah besar ini kembali pada kesunyiannya yang mencekam, kini sarat akan kebenaran yang tak terucap.
Di ruang makan yang porak-poranda, aroma anggur, tembakau, dan parfum mahal bercampur menjadi bau kemunafikan yang memuakkan. Topeng-topeng telah dilepaskan. Sandiwara telah usai. Yang tersisa hanyalah aku dan Willem, dua aktor utama yang kini berdiri di atas panggung yang hancur, saling menatap di antara puing-puing kebohongan.
Aku segera pergi ke kamar Annelies, dengan alasan ingin memastikan ia tertidur nyenyak setelah keributan pesta. Itu adalah sebuah kebohongan, tentu saja. Aku butuh ruang untuk bernapas, butuh waktu sejenak untuk melepaskan topengku yang terasa mencekik. Tanganku gemetar hebat saat aku menutup pintu kamar putriku di belakangku, menyandarkan punggungku di kayu yang dingin. Di dalam keheningan yang hanya diisi oleh napas teratur Annelies, aku mengambil lipatan kertas kecil dari dalam sanggulku.
Ini adalah api.
Sebuah bara api yang kupegang di tanganku.
Bara yang bisa membakar seluruh tatanan kolonial hingga ke akar-akarnya, atau hanya membakar diriku sendiri hingga menjadi abu. Aku harus menyembunyikannya di tempat yang paling aman, tempat yang tidak akan pernah terpikirkan oleh Willem.
Mataku dengan cepat memindai ruangan yang penuh dengan barang-barang Eropa yang mahal. Mainan perak, kotak musik, renda-renda halus. Tidak ada yang aman. Lalu, mataku tertuju padanya. Sebuah boneka kain lusuh buatan Ratna, tergeletak di sudut buaian. Satu-satunya mainan pribumi, satu-satunya benda sederhana di antara kemewahan yang dingin ini.
Dengan jari-jari yang kaku karena tegang, aku mengambil jarum dan benang dari kotak jahitku. Aku membuka sedikit jahitan di bagian punggung boneka itu, menciptakan sebuah lubang kecil. Jantungku berdebar begitu kencang, setiap detiknya terasa seperti satu jam. Aku melipat kertas berisi informasi pasifikasi itu sekecil mungkin, lalu memasukkannya ke dalam isian kapuk yang empuk.
Aku tidak hanya menyembunyikan sebuah kertas.
Aku sedang menitipkan nyawa ribuan orang, menitipkan warisan perjuangan Adi, ke dalam jantung sebuah boneka kain.
Dengan tergesa-gesa, aku menjahitnya kembali, berusaha membuat bekasnya tak terlihat. Kini, bukti pengkhianatanku yang terbesar tersembunyi di dalam benda yang paling polos.
Saat aku kembali ke kamarku, Willem sudah ada di sana. Ia tidak sedang berganti pakaian. Ia hanya berdiri di tengah ruangan, menungguku dalam diam. Lampu minyak di meja rias menerangi sebagian wajahnya, menciptakan bayangan-bayangan yang membuat ekspresinya tampak seperti topeng iblis dari cerita-cerita wayang.
"Pestanya meriah," kataku pelan, mencoba memecah keheningan yang berat seperti batu.
"Sangat meriah," jawabnya, suaranya dingin dan tanpa nada. Ia berjalan perlahan ke arahku, gerakannya terkalkulasi seperti seekor macan tutul yang mendekati mangsanya. "Semua orang terkesan. Terutama denganmu. Mijn vrouw."
Ia mengucapkan kata itu dengan penekanan yang sinis, mengubahnya dari sebuah pujian menjadi sebuah hinaan yang tajam. Ia berhenti tepat di hadapanku, begitu dekat hingga aku bisa mencium bau anggur yang asam dari napasnya.