Perang dingin di antara kami memiliki ritme yang menyiksa. Siang hari adalah keheningan yang tegang, di mana setiap derit papan lantai atau denting sendok terdengar seperti sebuah ancaman. Malam hari adalah kedekatan yang mengerikan, di mana aku harus berbaring di samping lelaki yang kini kutahu adalah musuhku yang paling waspada, merasakan napasnya di kulitku, sementara pikiranku melayang jauh, menghitung sisa hari sebelum pembantaian itu dimulai.
Sembilan hari.
Delapan.
Tujuh.
Waktu menjadi algojoku. Setiap pagi, saat aku terbangun dan melihat Annelies tertidur lelap di buaiannya, hatiku diremas oleh dua perasaan yang saling bertentangan: cinta yang begitu murni dan keputusasaan yang begitu kelam. Bukti pengkhianatanku, kertas kecil berisi daftar desa dan tanggal vonis mati mereka masih tersembunyi aman di dalam boneka kain lusuh milik putriku. Benda itu terasa seperti bom yang siap meledak, dan aku adalah penjaganya yang tak berdaya, terkurung di dalam ruangan yang sama dengan bom itu.
Aku mencoba segalanya. Aku mencoba mendekati Ratna lagi, tapi ia akan segera mencari alasan untuk pergi, matanya dipenuhi ketakutan. Ia tahu rumah ini kini berada di bawah pengawasan total. Ia tidak mau lagi mempertaruhkan nyawanya. Aku mencoba berbicara dengan babu-babu lain, tapi mereka akan menunduk dan menggumamkan jawaban-jawaban tak berarti. Willem telah berhasil menebar teror. Ia telah mengubah setiap pelayan di rumah ini menjadi mata dan telinga untuknya, entah mereka sadar atau tidak.
Setiap hari, aku merasa semakin tercekik. Informasi yang kupegang terasa seperti bara api yang membakar jiwaku. Aku tahu nama-nama desa yang akan menjadi Pringgacala berikutnya. Aku bisa melihat wajah-wajah para perempuan dan anak-anak di benakku, tawa mereka yang riang akan segera digantikan oleh jeritan. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku, sang Nyai Bayangan, sang ular di dalam rumah, kini telah dilumpuhkan, taringku seolah telah dicabut satu per satu.
Lalu, pada hari kelima sebelum tanggal pasifikasi, Willem memulai babak terakhir dari permainannya.
Pagi itu dimulai seperti biasa. Aku menyusui Annelies, menimangnya hingga ia kembali tertidur, lalu meletakkannya dengan hati-hati di dalam buaiannya di sudut kamar. Willem sudah berangkat ke kantor perkebunan. Aku duduk di dekat jendela, mencoba menjahit, meskipun jari-jariku terasa kaku dan pikiranku kosong.
Sekitar tengah hari, aku bangkit untuk memeriksa Annelies.
Dan jantungku berhenti berdetak.
Buaian itu kosong.
Untuk sesaat, aku tidak bisa memprosesnya. Benakku menolak untuk menerima apa yang kulihat. Mungkin aku salah. Mungkin salah satu babu telah membawanya berjalan-jalan di taman.
Aku berlari keluar dari kamar, jantungku mulai berdebar kencang.
"Di mana Annelies?" tanyaku pada babu muda yang sedang menyapu lorong.
Perempuan itu menatapku dengan bingung. "Saya tidak tahu, Nona. Saya pikir ia bersama Nona."
Aku berlari ke taman belakang. Kosong. Aku berlari ke dapur. Ratna sedang memasak, wajahnya tegang. "Mbak Ratna, kau melihat Annelies?" tanyaku, suaraku mulai bergetar.
Ratna menggeleng pelan, matanya dipenuhi rasa kasihan yang tertahan. "Tidak, Nona. Sejak pagi saya tidak melihatnya."
Panik, dingin dan tajam, mulai merayapi tulang punggungku. Aku menggeledah setiap ruangan di rumah besar itu, namaku menggema di lorong-lorong yang sunyi.