Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #25

Pertemuan Rahasia

Dunia-ku kini menyusut seukuran paviliun tamu di ujung taman. Setiap pagi, di bawah pengawasan seorang penjaga, aku diizinkan berjalan melintasi halaman untuk menyusui Annelies. Setiap sore, aku diizinkan kembali untuk menimangnya tidur. Waktu di antara kunjungan-kunjungan itu adalah sebuah kehampaan, sebuah penantian panjang di dalam sangkar emasku, di mana satu-satunya temanku adalah gema dari ancaman Willem.

Aku telah menyerah. Bara di dalam sekam yang dulu kubanggakan kini telah menjadi abu yang dingin. Aku tidak lagi memikirkan perlawanan, tidak lagi memikirkan desa-desa yang terancam. Pikiranku hanya dipenuhi oleh satu hal: wajah putriku.

Aku akan melakukan apa pun yang Willem minta, menjadi boneka yang paling patuh, menelan setiap hinaan, selama aku diizinkan untuk terus melihatnya, menyentuhnya, dan merasakan kehangatan napasnya di leherku. Aku telah memilih anakku. Dan dengan pilihan itu, aku telah mengkhianati segalanya yang pernah kuperjuangkan.

Kertas berisi informasi pasifikasi yang tersembunyi di dalam boneka kain Annelies kini terasa seperti duri. Setiap kali aku melihat boneka itu tergeletak di buaian, aku merasakan gelombang rasa bersalah yang memuakkan. Informasi itu tidak berguna. Aku tidak berdaya. Aku telah kalah.

Aku menjalani rutinitas baruku yang menyakitkan ini selama hampir seminggu. Aku menjadi semakin pendiam, wajahku semakin pucat. Aku adalah cangkang kosong dari perempuan yang dulu pernah berani bermimpi tentang perlawanan. Aku yakin Willem menikmati pemandangan ini, menikmati kehancuranku yang perlahan-lahan.

Lalu, suatu sore, sebuah kerikil kecil dilemparkan ke dalam kolam keputusasaanku yang tenang. Ratna, yang selama ini selalu menghindariku, mendekatiku saat aku sedang mencuci tangan di dekat sumur belakang, jauh dari telinga-telinga lain.

"Juru tulis itu mengirim pesan lagi," bisiknya cepat, tanpa menatapku, tangannya sibuk memeras kain lap. "Ia tahu sesuatu telah terjadi. Ia mencemaskan Nona."

Aku hanya menggeleng lemah. "Sudah tidak ada gunanya, Mbak."

"Ia memaksa," desis Ratna, kini ada sedikit nada frustrasi dalam suaranya. "Ia bilang ia akan menunggu Nona malam ini, saat lonceng berdentang dua belas kali, di bawah pohon asam besar di ujung perkebunan. Ia bilang, ini kesempatan terakhir."

"Aku tidak bisa," jawabku, suaraku parau. "Mereka menjagaku. Mereka menjaga Annelies. Aku tidak bisa mengambil risiko."

Ratna akhirnya menoleh padaku, matanya yang lelah menatapku lekat. "Risiko apa lagi yang lebih besar daripada hidup seperti ini, Nona?" tanyanya. "Hidup sebagai mayat yang bisa bernapas?"

Kata-katanya menamparku.

Ia benar.

Aku tidak sedang hidup.

Aku hanya sedang menunggu mati secara perlahan.

Malam itu, aku berbaring di ranjangku, menatap langit-langit. Pertemuan itu adalah sebuah kegilaan. Jika aku tertangkap, aku tidak akan pernah lagi diizinkan melihat Annelies. Aku akan kehilangan segalanya.

Tapi kemudian aku membayangkan masa depan. Masa depan di mana aku menjadi bayangan Willem selamanya, tersenyum patuh sementara ia mendidik Annelies menjadi seorang noni Belanda yang membenci darah pribuminya sendiri. Membayangkan putriku tumbuh dewasa dengan memanggilku 'babu' di hadapan teman-temannya. Tidak. Itu bukanlah kehidupan. Itu adalah neraka yang lebih dalam dari kematian.

Keraguan berperang dengan ketakutan di dalam diriku. Tapi di bawah tumpukan abu keputusasaan, sebuah percikan kecil kembali menyala. Percikan yang dibangkitkan oleh pertanyaan Ratna, oleh panggilan Adi.

Lihat selengkapnya