Tiga hari.
Aku memiliki tiga hari untuk hidup di dalam kebohongan terbesarku.
Tiga hari untuk tersenyum pada sipirku, tiga hari untuk menimang putriku yang menjadi sandera, dan tiga hari untuk merencanakan pelarian yang akan menentukan nasib kami semua. Waktu, yang tadinya adalah algojo yang berjalan lambat, kini menjadi sekutu yang berlari terlalu cepat.
Setiap detik terasa berharga dan sarat akan bahaya. Siang hari, aku adalah Laras yang telah patah, seorang perempuan yang telah menyerah pada nasibnya. Aku akan duduk di beranda selama berjam-jam, tatapanku kosong, hanya sesekali berbicara jika ditanya. Aku membiarkan Willem melihat apa yang ingin ia lihat: sebuah kemenangan. Ia menjadi lebih santai di sekitarku, keyakinannya bahwa ia telah berhasil menghancurkan jiwaku membuatnya lengah. Ia tidak tahu bahwa di balik mataku yang kosong, sebuah pikiran yang tajam sedang bekerja, memetakan setiap detail, menghitung setiap risiko.
Malam hari, saat ia tertidur lelap di sampingku, barulah aku berani untuk hidup. Aku akan berbaring tanpa bergerak, mataku terbuka lebar dalam kegelapan, menyusun rencanaku berulang-ulang.
Aku mengumpulkan perbekalan rahasiaku sedikit demi sedikit. Sebilah pisau kecil dari dapur, yang kusembunyikan di dalam belitan kain di dasar lemari. Beberapa keping uang perak yang berhasil kuambil dari laci meja Willem selama berminggu-minggu, yang kujahit di keliman dalam kebayaku. Dan yang paling penting, kertas berisi informasi pasifikasi, yang kuambil kembali dari boneka kain Annelies. Kertas itu adalah alasanku, pembenaranku atas pertaruhan gila ini.
Aku juga harus mempersiapkan Annelies. Aku mulai membiasakannya digendong dalam selendang untuk waktu yang lama, menyenandungkan lagu-lagu pelan agar ia tertidur pulas di dekapanku. Aku berdoa, memohon pada Tuhan yang mungkin telah kulupakan, agar ia tidak menangis di saat yang paling menentukan.
Malam ketiga tiba dengan cepat. Langit kelabu dan tanpa bintang, seolah alam pun menahan napas. Jantungku berdebar begitu kencang hingga rasanya memukul-mukul rusukku, sebuah genderang perang yang hanya bisa kudengar sendiri. Sesuai rencana, aku menyiapkan minuman jenever terakhir untuk Willem. Tanganku gemetar saat aku membuka sebuah bungkusan kecil yang diberikan Ratna padaku secara diam-diam sehari sebelumnya. Bubuk akar tidur, dosis yang cukup untuk membuat seekor kerbau terlelap hingga fajar.
"Kamu tampak pucat," kata Willem saat aku menyodorkan gelas itu padanya. Ia sedang duduk di kursinya, membaca koran.
"Hanya sedikit lelah, Meneer," jawabku, suaraku nyaris tak terdengar.
Ia mengambil gelas itu, menatapku sejenak dengan tatapan birunya yang tajam. Sepersekian detik, aku yakin ia tahu. Aku yakin ia bisa mencium bau kebohongan dan ketakutan dariku. Tapi kemudian ia tersenyum. "Minumlah bersamaku," katanya, sebuah permintaan yang tidak biasa. "Satu gelas saja. Untuk merayakan ketenangan di rumah ini."
Panik.
Ini tidak ada dalam rencana.
Aku tidak bisa menolak tanpa menimbulkan kecurigaan. Dengan tangan gemetar, aku menuangkan sedikit jenever untuk diriku sendiri dari botol yang sama. Kami bersulang. Aku melihatnya meneguk minumannya hingga setengah gelas. Aku hanya menempelkan bibirku di pinggir gelasku, membiarkan cairan pahit itu membasahi lidahku tanpa menelannya.
Aku menunggunya, setiap detik yang merayap.
Sepuluh menit.
Dua puluh menit.
Ia mulai menguap.
Matanya mulai tampak berat.