Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #27

Sang Pengkhianat

Cengkeraman tangan kasar di bahuku menarikku kembali dari jurang keterkejutan. Aku terseret, dipaksa berdiri dengan lutut yang gemetar. Ladang tebu di sekelilingku bukan lagi tempat persembunyian; ia telah menjadi sebuah arena, dan aku adalah gladiator yang kalah telak, dipersembahkan di hadapan sang kaisar. Obor-obor para penjaga membentuk lingkaran api di sekelilingku, cahaya mereka menari-nari di wajah-wajah yang tegang dan tanpa ekspresi.

Di tengah lingkaran itu, terbaring tubuh Adi, diam dan tak bergerak di atas tanah basah. Dan di ujung sana, berjalan mendekat dengan langkah yang berat dan terukur, adalah Willem.

Annelies masih menangis histeris dalam dekapanku. Jeritannya yang melengking adalah satu-satunya suara yang berani menantang keheningan yang mencekam setelah suara letusan pistol tadi. Tangisannya adalah sauhku, satu-satunya hal yang membuatku tetap sadar, yang mencegah jiwaku tercerai-berai dan terbang bersama angin malam.

Aku memeluknya begitu erat, seolah dengan kekuatan cintaku aku bisa menciptakan perisai tak terlihat yang akan melindunginya dari semua kengerian ini.

Willem berhenti beberapa langkah di hadapanku. Ia tidak lagi marah. Wajahnya adalah sebuah topeng penderitaan yang mengerikan. Rambutnya acak-acakan, kemeja tidurnya ternoda oleh tanah, dan di matanya yang biru, aku melihat sebuah badai cinta yang obsesif, kebencian yang membara, dan kekecewaan yang begitu dalam hingga nyaris membuatnya gila.

Pistol di tangannya masih berasap tipis.

"Kenapa, Laras?" bisiknya, suaranya parau, serak oleh emosi yang tertahan. "Waarom?"

Aku tidak menjawab. Tidak ada lagi kata-kata. Tidak ada lagi kebohongan. Topengku telah hancur berkeping-keping. Yang ada di hadapannya kini adalah aku yang sebenarnya: seorang pengkhianat, seorang pemberontak, seorang perempuan yang telah memilih jalan lain.

"Aku memberimu segalanya," lanjutnya, suaranya bergetar. "Dunia ini ... rumah ini ... menjadikanmu 'istri' ... anak ini ..." Ia menunjuk Annelies yang masih menangis. "Dan kau membuang semuanya demi seekor tikus selokan?"

Ia melangkah maju. Instingku langsung mengambil alih. Aku mundur selangkah, mendekap Annelies lebih erat, tubuhku menjadi tameng bagi putriku. Gerakanku yang defensif seolah menyadarkannya dari penderitaannya, dan api di matanya kembali menyala.

"Berikan dia padaku," perintahnya, suaranya dingin.

"Tidak," desisku, sebuah penolakan terakhir yang sia-sia.

"BERIKAN DIA PADAKU!" raungnya, dan dua orang penjaga langsung bergerak, mencengkeram lenganku. Aku meronta, menjerit, menendang. Aku bertarung seperti seekor harimau betina yang anaknya direbut. Tapi aku tidak punya kekuatan. Mereka menarik lenganku ke belakang, memaksa dekapanku pada Annelies terlepas.

Willem mengambil Annelies dari pelukanku. Putriku, yang merasakan pelukan ibunya hilang, menangis semakin kencang. Willem mencoba menenangkannya, menimangnya dengan gerakan yang kaku dan canggung. "Ssst, kleine meid, anakku sayang. Semuanya akan baik-baik saja. Ayah di sini."

Lihat selengkapnya