Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #28

Penjara Gelap

Perjalanan menuju neraka tidak memakan waktu lama. Gerobak yang membawaku dan jasad Adi berguncang-guncang di jalanan Semarang yang gelap dan sepi. Aku tidak merasakan guncangannya. Tidak merasakan dinginnya angin malam yang menusuk kulitku.

Aku tidak merasakan apa-apa.

Tubuhku hanyalah sebuah cangkang kosong, sementara jiwaku masih tertinggal di ladang tebu itu, di dalam pelukan Willem yang menangis, di dalam tangis putriku yang melengking.

Mereka membawaku ke Penjara Bulu. Sebuah nama yang sering kudengar dalam bisikan-bisikan penuh ketakutan di pasar. Sebuah benteng kolonial yang angkuh dan menyeramkan, dinding-dindingnya yang tebal dan tinggi tampak seperti rahang raksasa yang siap menelan bulat-bulat. Gerbang besinya yang berkarat terbuka dengan suara derit yang memilukan, seolah-olah bangunan itu sendiri sedang mengerang kesakitan, lalu menutup kembali di belakangku dengan bunyi dentang yang final. Bunyi itu adalah penanda akhir dari duniaku yang lama.

Aku diseret turun dari gerobak. Untuk sesaat, mataku bertemu dengan mata para serdadu yang membawaku. Di mata mereka, aku tidak melihat kebencian atau kemarahan. Aku hanya melihat ketidakpedulian yang dingin. Aku bukan lagi seorang perempuan, seorang ibu, atau seorang manusia.

Aku adalah sebuah nomor.

Sebuah barang bukti.

Seorang pengkhianat pribumi yang harus diproses.

Mereka mendorongku menyusuri lorong-lorong yang panjang dan remang-remang. Udara di dalamnya terasa pengap, berat oleh bau apek, kencing, dan keputusasaan yang telah mengendap selama bertahun-tahun. Obor-obor yang menempel di dinding berlumut menciptakan bayangan-bayangan menari yang tampak seperti arwah-arwah tersiksa. Dari balik pintu-pintu sel yang terbuat dari jeruji besi tebal, aku bisa mendengar suara erangan, batuk-batuk, dan kadang-kadang, tawa gila yang membuat bulu kuduk berdiri. Ini adalah tempat di mana manusia dibuang untuk dilupakan.

Seorang sipir Belanda dengan wajah kemerahan dan perut buncit menyambutku dengan seringai. Ia mengambil daguku dengan tangannya yang kasar, memaksaku menatapnya.

"Jadi ini tikus kecil yang telah membuat keributan besar," katanya dalam bahasa Melayu yang kasar. Ia melirik ke pakaian babuku yang lusuh dan kotor. "Tidak terlihat seperti sesuatu yang istimewa."

Aku tidak bereaksi. Aku hanya menatapnya dengan mata yang kosong. Kekosongan di mataku sepertinya membuatnya jengkel. Ia mendorongku dengan kasar ke arah dua orang sipir pribumi.

"Bawa dia ke sel isolasi. Geledah dia. Ambil semuanya. Jangan sisakan apa pun."

Aku digiring ke sebuah ruangan kecil yang dingin. Mereka memerintahkanku untuk menanggalkan pakaianku. Semua pakaianku. Di bawah tatapan mereka yang dingin dan impersonal, aku dilucuti dari sisa-sisa terakhir harga diriku. Mereka mengambil kebaya dan kainku, mengambil uang perak yang kujahit di kelimannya, mengambil tusuk konde perak pemberian Willem, satu-satunya benda berharga yang masih kumiliki. Mereka membiarkanku telanjang dan gemetar di lantai batu yang dingin selama beberapa saat, sebelum melemparkan sehelai karung goni yang kasar dan bau. Itulah pakaian baruku.

Selku berada di bagian penjara yang paling dalam dan paling gelap. Bukan sel biasa dengan jeruji. Ini adalah sebuah lubang. Sebuah kotak batu seukuran kuburan, dengan sebuah pintu kayu tebal yang memiliki sebuah lubang kecil di bagian bawahnya untuk memasukkan makanan. Tidak ada jendela. Tidak ada cahaya. Satu-satunya sumber udara adalah beberapa celah di langit-langit yang tinggi. Saat pintu itu dibanting tertutup dan suara kuncinya yang berat diputar, aku ditelan oleh kegelapan yang absolut.

Di dalam kegelapan itulah, syok yang selama ini melindungiku mulai retak. Dan kenyataan, dalam segala kengeriannya, mulai merayap masuk.

Lihat selengkapnya