Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #29

Eksekusi Senyap

Waktu di dalam lubang gelapku terus berjalan tanpa wujud, tapi aku tahu akhir itu semakin dekat. Aku bisa merasakannya di udara yang semakin dingin, di dalam keheningan yang semakin pekat di antara sesi-sesi interogasi yang kini telah berhenti. Mereka telah menyerah. Tubuhku mungkin telah mereka hancurkan, penuh dengan luka memar yang membiru dan rasa sakit yang tumpul, tapi jiwaku tetap utuh. Kebisuanku telah menjadi benteng terakhirku, dan di dalam benteng itu, aku menemukan sebuah kedamaian yang aneh.

Pintu selku dibuka pada suatu pagi buta. Bukan dengan kasar seperti biasanya, melainkan dengan sebuah ketenangan yang mengerikan. Lelaki Belanda berwajah dingin yang sering menginterogasiku berdiri di ambang pintu, diapit oleh dua serdadu. Ia tidak lagi menatapku dengan amarah, melainkan dengan semacam rasa ingin tahu yang dingin, seperti seorang ilmuwan yang mengamati spesimen langka sebelum membedahnya.

"Laras Ayu Prameswari," katanya, suaranya yang datar menggema di dalam sel yang sempit. "Atas perintah dari Residen Semarang dan persetujuan dari Dewan Hindia di Batavia, kau telah dinyatakan bersalah atas tuduhan pengkhianatan, spionase, dan bersekongkol untuk memicu pemberontakan melawan pemerintah yang sah."

Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara yang pengap. Aku hanya menatapnya, tidak bergeming.

"Tidak akan ada pengadilan terbuka," lanjutnya. "Pemerintah telah memutuskan bahwa kasusmu terlalu sensitif. Sebuah pengadilan publik hanya akan mengubah seorang kriminal sepertimu menjadi martir dan memicu kerusuhan yang tidak perlu." Ia tersenyum tipis, senyum yang tidak mengandung humor sedikit pun. "Kau tidak akan diberi panggung untuk pidato-pidato heroikmu, perempuan."

Ia mengeluarkan selembar gulungan kertas dari sakunya. "Hukumanmu adalah mati. Dengan cara digantung. Eksekusi akan dilaksanakan saat fajar besok. Semoga Tuhan mengampuni jiwamu."

Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan pergi. Pintu sel dibanting tertutup, suara kuncinya diputar untuk terakhir kalinya. Jadi inilah akhirnya. Bukan di pengadilan yang riuh, bukan di hadapan kerumunan massa. Melainkan di dalam keheningan. Sebuah eksekusi senyap, dirancang untuk menghapusku dari sejarah seolah aku tidak pernah ada.

Aku tidak merasakan takut. Anehnya, yang kurasakan adalah kelegaan. Penantian ini telah berakhir. Kepastian, bahkan kepastian akan kematian sekalipun, terasa lebih ringan daripada ketidakpastian yang telah menyiksaku selama ini.

Aku duduk bersandar di dinding batu yang dingin, memejamkan mata. Aku memiliki satu malam terakhir. Satu malam untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia yang telah memberiku begitu banyak rasa sakit, dan begitu banyak cinta. Pikiranku mulai mengembara, melakukan perjalanan terakhirnya melintasi kenangan-kenangan yang telah membentuk diriku.

Pertama, aku memikirkan Annelies. Putriku. Jantung hatiku. Aku tidak lagi menangisinya dengan keputusasaan. Sebaliknya, aku mulai berbicara padanya di dalam benakku, menceritakan sebuah dongeng pengantar tidur yang panjang.

Anakku sayang, bisikku dalam sunyi. Maafkan Ibumu. Maafkan Ibu karena telah membawamu ke dalam dunia yang kejam ini. Maafkan Ibu karena tidak bisa melihatmu tumbuh dewasa, tidak bisa menyanyikan lagu nina bobo untukmu, tidak bisa menyeka air matamu saat kau jatuh. Tapi ketahuilah, setiap pilihan yang Ibu buat, setiap risiko yang Ibu ambil, setiap rasa sakit yang Ibu tahan, semuanya adalah untukmu.

Aku menceritakan padanya tentang perjuanganku. Bukan sebagai sebuah pengakuan dosa, melainkan sebagai sebuah warisan. Ibu hanya ingin menciptakan dunia di mana sepasang mata biru di wajah Jawa sepertimu bukanlah sebuah kutukan. Dunia di mana kau bisa berdiri tegak dan berkata, 'inilah aku', tanpa perlu merasa malu atau takut. Mungkin Ibu telah gagal. Mungkin dunia itu masih jauh dari jangkauan. Tapi Ibu ingin kau tahu, Ibumu pernah mencoba. Dengan segenap jiwa raganya.

Lihat selengkapnya