Laras Ayu Prameswari mati.
Jasadnya tidak diberi pemakaman yang layak.
Tidak ada upacara.
Tidak ada doa yang dipanjatkan.
Tidak ada gundukan tanah yang ditandai dengan nisan.
Sesuai dengan semangat eksekusi senyap itu, sosok Laras Ayu Prameswari dihapuskan dari muka bumi dengan efisiensi yang dingin. Jasadnya dibawa dalam gerobak yang sama yang telah membawa jasad Adi, menuju sebuah liang lahat tak bertanda di sudut terjauh dari pemakaman kaum pribumi. Sebuah tempat yang disediakan untuk para penjahat tanpa nama dan orang-orang buangan.
Ia dikuburkan saat matahari bahkan belum sepenuhnya terbit, disaksikan hanya oleh dua orang penggali kubur yang lelah dan beberapa ekor gagak yang bertengger di dahan pohon randu. Di mata hukum kolonial, kasusnya telah ditutup. Debunya telah kembali ke tanah.
Namun, di dalam rumah besar di Pringgacala, gema dari kehidupannya justru semakin nyaring. Willem Van Houten telah memenangkan perangnya. Ia telah menghancurkan musuh-musuhnya, menyingkirkan pengkhianat dari dalam rumahnya, dan menegakkan kembali kekuasaannya yang mutlak. Tapi kemenangannya terasa hampa, seperti abu di dalam mulut. Rumah yang tadinya terasa dingin, kini terasa beku. Setiap sudut, setiap perabot, setiap bayangan, kini dihantui oleh sosok perempuan itu.
Ia mencoba menghapusnya.
Ia memerintahkan para pelayan untuk membereskan semua barang-barang milik Laras. Kebaya-kebayanya, tusuk konde perak, bahkan buku catatan kecil berisi kata-kata Belanda yang ia temukan di bawah kasur.
Ia membakar semuanya di halaman belakang dalam sebuah api unggun kecil yang menyala-nyala, seolah dengan membakar benda-benda itu ia bisa membakar kenangan tentangnya.
Tapi ia tidak bisa membakar ingatannya sendiri.
Setiap kali ia menatap Annelies, ia melihat Laras. Ia melihat jejak-jejak perempuan itu pada putri mereka: rambutnya yang hitam legam, bentuk bibirnya, dan yang paling menyakitkan, sorot mata Laras yang dulu pernah menatapnya dengan campuran takut dan benci, kini menatapnya kembali melalui mata biru putrinya sendiri.
Annelies, yang tadinya adalah simbol kemenangan dan kepemilikannya, kini telah berubah menjadi sebuah cermin yang retak, yang setiap hari memantulkan kembali pengkhianatan dan kehilangannya yang paling besar.
Cintanya pada Annelies kini bercampur dengan rasa sakit. Ia akan memeluknya erat-erat, membisikkan kata-kata dalam bahasa Belanda, namun terkadang, di tengah malam, para pelayan akan mendengarnya memanggil nama lain dalam tidurnya.
"Laras ... Laras ..."