Api unggun kecil menyala di tengah sebuah gudang tua yang pengap di Semarang, cahayanya yang gemetar menari-nari di wajah-wajah yang tegang. Di sekeliling api itu, duduk beberapa lelaki, sebagian besar masih muda, namun mata mereka memancarkan kedewasaan yang dipaksakan oleh perjuangan. Di antara mereka, duduk seorang lelaki paruh baya dengan sorot mata yang tajam dan berwibawa, Raden Mas Kusumo Atmadja. Keheningan di antara mereka berat, sarat akan duka atas kehilangan yang baru saja mereka alami.
"Adi adalah seorang putra terbaik pergerakan," kata Raden Mas Kusumo memecah keheningan. "Ia mati sebagai seorang pahlawan."
Seorang pemuda di seberangnya mengangguk, tinjunya terkepal di atas lutut. "Mereka juga mengeksekusi sumber kita di dalam rumah Van Houten. Perempuan itu. Mereka membunuhnya dalam diam."
Nama Laras Ayu Prameswari tidak pernah mereka ketahui. Adi, dalam kehati-hatiannya yang luar biasa, selalu menjaganya sebagai rahasia terbesarnya. Ia hanya menyebutnya sebagai "sumber di dalam", atau terkadang, dalam percakapan yang lebih puitis, "ular di dalam sangkar".
"Kita tidak tahu namanya," kata pemuda lain. "Kita tidak tahu wajahnya. Tapi kita tahu keberaniannya. Informasi terakhir yang ia berikan telah menyelamatkan ratusan nyawa dan menggagalkan rencana 'pasifikasi' busuk itu. Pengorbanannya tidak boleh dilupakan."
Raden Mas Kusumo menatap api, matanya menyipit saat ia berpikir. "Tidak," katanya pelan. "Pengorbanannya tidak akan dilupakan. Tapi namanya harus tetap menjadi rahasia, untuk melindungi siapa pun yang mungkin masih terkait dengannya." Ia berhenti sejenak, seolah mencari kata yang tepat. "Kita akan memberinya sebuah nama gelar. Sebuah nama yang akan hidup dalam cerita-cerita kita, sebuah simbol."
Ia menatap sekelilingnya, pada bayangan-bayangan yang menari di dinding gudang. "Ia bergerak dalam bayang-bayang. Ia menyerang dari dalam kegelapan. Ia adalah hantu di dalam rumah musuh. Kita akan memanggilnya Nyai Bayangan."
Dan begitulah legenda itu lahir. Bukan di atas panggung yang terang, melainkan di dalam sebuah gudang yang gelap, di antara para pejuang yang berduka. Laras Ayu Prameswari, sang gundik, sang ibu, sang kekasih, telah mati. Tapi Nyai Bayangan, sang martir, baru saja memulai perjalanannya.
Kisah itu mulai merambat, perlahan namun pasti, seperti akar pohon beringin yang menembus tanah paling keras sekalipun. Ia tidak berjalan melalui surat kabar atau pengumuman resmi. Ia berjalan dari mulut ke mulut, dari bisikan ke bisikan, di tempat-mana di mana kaum pribumi berkumpul dalam ketakutan dan harapan.