Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #2

Bara dalam Sekam

Namaku Laras Ayu Prameswari. Setidaknya, itu nama yang diberikan Bapak dan Ibu saat aku lahir. Kini, aku tidak yakin nama itu masih menjadi milikku. Di rumah besar ini, di antara pilar-pilar putih yang menjulang angkuh dan perabotan kayu gelap yang berbau asing, aku hanyalah panggilan tanpa nama. Aku adalah nyai.

Ya, aku adalah seorang nyai.

Nyai itu bukan istri.

Istri adalah perempuan terhormat yang namanya disandingkan dengan suaminya dalam surat pernikahan. Namanya diagungkan, keturunannya diakui. Aku bukan itu. Aku adalah bayangan yang berjalan di belakang tuannya, perempuan tanpa pengakuan, tanpa surat nikah, tanpa tempat di dunia yang terhormat.

Ada nama lain untuk perempuan sepertiku, sebuah kata yang lebih pendek, lebih tajam, dan lebih menusuk.

Gundik.

Itulah kata yang mereka gunakan saat berbisik di pasar, saat mereka pikir aku tidak mendengar. Kata yang dilontarkan dengan nada merendahkan untuk melucuti sisa-sisa kemanusiaan yang kumiliki.

Jika "nyai" adalah statusku di dalam sangkar emas Belanda, maka "gundik" adalah cap yang menandai tubuhku, merangkum seluruh keberadaanku hanya dalam satu fungsi: pemuas nafsu Meneer Belanda.

Pagi pertamaku di sini disambut oleh keheningan yang aneh. Di rumahku dulu, pagi adalah suara Ibu menumbuk bumbu, kokok ayam, dan tawa para perempuan yang berjalan ke sungai. Di sini, yang terdengar hanya detak jam besar di lorong, suaranya menggema seperti detak jantung monster yang sedang beristirahat. Seprai sutra ini terasa dingin di kulitku, tidak seperti kain katun kasar di rumah yang berbau asap dapur dan keringat Bapak.

Di sini, segalanya berbau asing. Aroma bunga lili yang tak kukenali dari taman dan wangi tembakau tajam yang menempel di bantal. Wangi lelaki itu, Meneer Willem Van Houten.

Ia memperlakukanku dengan kelembutan yang membingungkan. Ia tidak pernah membentak atau memaksa dengan kasar seperti cerita-cerita tentang para meneer yang kudengar di desa. Tangannya menyentuh lenganku dengan hati-hati, seolah aku adalah benda paling berharga dari negerinya. Ia berbicara padaku dengan suara rendah, kadang dalam bahasa Melayu pasar yang kaku, kadang dalam bahasa Belanda yang tidak kumengerti sama sekali. Ia tersenyum saat aku hanya menunduk.

Kelembutan inilah penjaraku yang paling kejam. Penjara yang halus, yang membuatku tidak punya alasan untuk menjerit atau melawan. Ia memberiku gaun-gaun indah dari kain yang berkilau, makanan yang tak pernah hadir dalam mimpiku, dan sebuah kamar dengan jendela besar menghadap taman. Tapi setiap kali ia menatapku, aku merasa telanjang, dinilai, dimiliki. Aku adalah burung cantik dalam sangkar emas, dan setiap butir jagung yang ia berikan adalah pengingat bahwa sayapku telah dipatahkan.

Dalam hatiku, tumbuh benih dendam yang kelam, bukan hanya pada lelaki ini, tapi juga pada keluargaku.

Aku benci Bapak yang menyerahkanku demi membayar hutang.

Aku benci Ibu yang hanya bisa menangis tanpa berbuat apa-apa.

Mereka menjualku, dan kini aku terjebak di dunia yang membuatku merasa kecil dan terhina.

Beberapa minggu kemudian, ia mengizinkanku pergi ke pasar ditemani seorang babu tua. Aku merindukan keramaian, bau terasi dan sayuran segar, suara tawar-menawar yang riuh. Aku mengenakan kebaya terbaik yang ia berikan, kainnya halus membelai kulitku. Namun, kerinduan itu segera berubah menjadi luka.

Lihat selengkapnya