Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #3

Dua Wajah dalam Cermin

Sumpah yang kuucapkan di tengah badai malam itu tidak lenyap bersamaan dengan redanya guntur. Sumpah itu mengendap di dalam tulang, mengubah caraku memandang dunia di sekeliling. Pagi harinya, saat fajar menyingsing dengan warna pucat yang menembus jendela kamarku yang besar, rumah ini tidak lagi terasa seperti sekadar penjara. Ia telah berubah wujud menjadi medan pertempuran. Setiap perabot kayu yang mengilap, setiap guci porselen yang bisu, setiap sudut gelap di lorong, kini adalah bagian dari sebuah papan catur.

Aku bukan lagi bidak yang pasrah.

Aku adalah pemain yang sedang mempelajari aturan mainnya.

Keheningan tidak lagi memekakkan telinga; ia kini penuh dengan informasi. Aku belajar membedakan suara langkah kaki Willem yang berat dan percaya diri dengan langkah para babu yang serba tergesa-gesa. Aku belajar mengenali derit papan lantai mana yang akan berbunyi jika diinjak, di mana para pelayan biasa berkumpul untuk berbisik, dan kapan saja ruang kerja Willem akan ditinggalkan kosong. Rumah ini adalah sebuah organisme hidup, dan aku mulai memetakan setiap denyut nadinya.

Perubahan terbesarku adalah topeng yang kukenakan. Aku memolesnya setiap pagi di depan cermin besar berbingkai emas itu.

Aku melatih senyumku, tipis dan malu-malu namun tidak mencapai mata.

Aku melatih tatapanku yang selalu menunduk, namun sesekali mencuri pandang dengan sorot mata yang kubuat tampak kosong dan patuh.

Aku menjadi aktris terbaik di panggung sandiwaraku sendiri, memainkan peran sebagai nyai yang sempurna, perempuan tak berdaya yang telah menerima nasibnya.

"Ah, kijk ... kamu tampak lebih rustig, lebih tenang pagi ini," ujar Willem beberapa hari setelah malam badai itu. Ia sedang duduk di meja makannya yang panjang, menyantap sarapannya sementara aku menuangkan kopi untuknya.

Matanya mengamatiku dari atas ke bawah, seolah menilai barang baru.

Aku tidak langsung menjawab, membiarkan jeda sesaat untuk memperkuat peranku. "Saya hanya ... mencoba menerima, Meneer," jawabku lembut, suaraku sengaja kubuat sedikit bergetar, seolah menahan sisa-sisa kesedihan.

Kebohongan itu mengalir dari bibirku semudah air. Ia menatapku, matanya yang biru menyorot tajam, seolah mencoba menembus pertahananku. Selama beberapa detik aku menahan napas.

Lalu, ia tersenyum puas. Senyum seorang pemenang. Ia menganggap jawaban tadi sebagai tanda keberhasilannya menaklukkan jiwa liarku.

Ia tidak tahu, di balik wajah patuh ini, aku sedang menghafal setiap dokumen yang tergeletak di mejanya, setiap nama yang ia sebut dalam tidurnya, setiap kerutan di dahinya saat ia membaca surat dari Batavia.

Namun, menjadi mata-mata tanpa sekutu adalah sebuah siksaan. Informasi yang kutulis dengan arang di buku catatan kecil semakin menumpuk, terasa seperti bara api yang membakar kantongku.

Aku tidak mengambil bongkahan arang itu begitu saja. Kupilih kepingan paling keras dari sisa tungku, lalu di sudut gelap halaman belakang, kugosokkan ujungnya pada batu bata yang kasar hingga ia memiliki tepian setipis dan setajam yang kumampu. Alat ini memang kotor dan sederhana, tapi ia bisa menuliskan rahasia.

 Informasi yang kudapatkan tidak ada gunanya jika hanya tersimpan dalam diam. Aku butuh jalan keluar, sebuah celah untuk menyalurkan racun yang terkumpul ini ke jantung musuh.

Celah itu mungkin bernama Adi Wiranegara.

Aku masih mengamatinya dari jauh, dengan kewaspadaan seekor kucing liar. Ia adalah bagian dari mesin Willem, tangannya menuliskan setiap perintah kejam yang keluar dari mulut sang Meneer.

Lihat selengkapnya