Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #4

Langkah Pertama di Atas Bara

Malam itu, aku tidak bisa menghapus dua tanda yang telah kugoreskan di sebelah nama Adi Wiranegara. Tanda silang, simbol bahaya dan pengkhianatan. Tanda tanya, simbol harapan yang sama berbahayanya. Keduanya berputar-putar dalam benakku, membuat tidurku gelisah dan dipenuhi bayangan. Pertempuran terbesarku memang bukan lagi melawan Willem semata, melainkan melawan keraguanku sendiri.

Hari-hari berikutnya, aku mengamati Adi dengan kewaspadaan yang membuat setiap saraf menegang. Aku bukan lagi sekadar perempuan yang penasaran; aku adalah seorang penjaga yang mengawasi calon algojonya. Saat ia datang ke rumah, aku memperhatikannya dari balik tirai jendela atau dari ujung lorong yang gelap. Aku melihat cara ia menunduk pada Willem, cara ia berbicara singkat dengan para babu, cara ia berjalan melintasi halaman dengan langkah yang teratur dan tenang. Aku mencari celah dalam topengnya, mencari tanda sekecil apa pun bahwa pertemanan yang ia tawarkan adalah sebuah jebakan. Namun, ia tidak menunjukkan apa-apa. Wajahnya tetap tenang, gerak-geriknya terkendali. Ia adalah teka-teki yang sempurna, dan itu membuatku semakin takut.

Keraguan ini terus mencengkeram hatiku, membuatku nyaris memutuskan untuk tetap menjadi bara yang tersembunyi selamanya. Namun, takdir seolah tidak mengizinkanku untuk mundur.

Seminggu setelah pertemuanku dengan Adi di taman, sebuah kereta kuda mewah berhenti di depan rumah. Keluarlah seorang lelaki Belanda tambun dengan setelan serba putih, yang kuingat sebagai Tuan Residen yang pernah kudengar berbincang dengan Willem di beranda. Mereka langsung masuk ke ruang kerja Willem, dan pintu ditutup rapat. Aku diperintahkan untuk menyiapkan kopi dan kudapan.

Aku melangkah masuk ke ruang kerja Willem, sebuah ruangan yang terasa sesak oleh asap cerutu dan aura kekuasaan. Nampan perak di tanganku terasa licin oleh keringat dinginku, dan setiap detak jantungku berdentum di telinga seperti genderang perang. Di sanalah mereka, dua lelaki penentu nasib bangsaku, duduk santai seolah dewa. Di atas meja, di antara gelas-gelas kosong dan asbak yang penuh, terhampar tumpukan dokumen. Itulah tujuanku. Inilah satu-satunya kesempatanku.

Dengan langkah yang sengaja kubuat sedikit goyah, seolah terintimidasi oleh kehadiran mereka, aku mendekati meja. Setiap gerakan telah kulatih ratusan kali dalam benak. Aku meletakkan cangkir pertama untuk Tuan Residen, lalu saat giliranku meletakkan cangkir untuk Willem, aku membiarkan tanganku bergetar hebat. Cangkir porselen itu bergemeletuk di atas tatakannya, dan sedikit cairan kopi yang panas tumpah, mengalir seperti ular hitam di atas permukaan kayu mahoni yang mengilap, berhenti hanya beberapa senti dari tepi sebuah peta.

"Ah, GODVERDOMME! Hati-hati, perempuan bodoh!" bentak Tuan Residen, suaranya meledak seperti petir. Ia melompat dari kursinya, membuatku tersentak kaget. Sebuah keterkejutan tulus yang bercampur dengan ketakutan yang kurekayasa.

"Ma-maafkan saya, Tuan. Ampun, Meneer," aku tergagap, langsung menjatuhkan diri ke lantai dan membungkuk-bungkuk dalam, memainkan peran sebagai perempuan desa ketakutan dengan segenap jiwa ragaku. Aku membiarkan tubuhku gemetar, berharap itu cukup meyakinkan.

Willem hanya mendesah kesal, sebuah suara dingin yang lebih menusuk daripada bentakan tamunya. Willem hanya mendesah kesal, sebuah suara dingin yang lebih menusuk daripada bentakan tamunya.

"Ja, ja, sudah. Berdiri dan bersihkan. Snel! Dan jangan storen ... jangan ganggu kami lagi."

Perintahnya adalah sebuah anugerah. Saat aku bangkit dan mulai membersihkan tumpahan kopi itu dengan lap yang selalu kuselipkan di pinggang, dunia di sekitarku seolah menyempit. Hanya ada aku, kain lap, dan kertas-kertas itu. Aroma kopi yang pekat bercampur dengan bau tinta dan ketakutanku sendiri. Sementara tangan bergerak lambat dan patuh, mataku bekerja secepat kilat, melahap setiap kata dan simbol yang bisa ditangkap. Sebagian besar dalam bahasa Belanda yang tidak kumengerti, namun kemudian mataku terkunci pada satu kata yang membuat darahku membeku: Pringgacala.

Di samping nama desaku, terbentang sebuah peta kasar dengan garis-garis yang membelah tanah persawahan. Ada serangkaian tanggal, namun satu tanggal dilingkari dengan tinta merah yang begitu pekat, tampak seperti setetes darah yang menandai sebuah vonis mati. Saat itu, aku tidak lagi hanya melihat sebuah rencana di atas kertas.

Aku sedang menatap nisan untuk desaku.

Saat aku kembali ke dapur, kata-kata mereka dari balik pintu yang tidak tertutup rapat sampai ke telingaku.

Lihat selengkapnya