Hari-hari setelah aku menjatuhkan lipatan kertas di hadapan Adi Wiranegara terasa seperti berjalan di atas lapisan es yang tipis. Setiap saat aku merasa es itu akan retak dan aku akan jatuh ke dalam air yang hitam dan membekukan.
Aku telah menyalakan sumbu.
Kini, yang bisa kulakukan hanyalah menunggu.
Menunggu ledakan yang mungkin akan menghancurkan duniaku, atau justru menjadi suar pertama dalam kegelapan.
Rumah besar ini, yang tadinya telah kuubah menjadi medan pertempuran rahasia, kini terasa seperti ruang interogasi. Setiap tatapan mata dari para babu terasa seperti sebuah tuduhan. Saat juru masak menatap sedikit lebih lama, aku langsung berpikir, apakah ia tahu? Apakah Adi menceritakannya? Saat tukang kebun berbisik pada temannya dan mereka melirik ke arahku, perut langsung mulas. Apakah mereka mata-mata Willem? Ketakutan menjadi selimutku, berat dan menyesakkan. Aku melakukan setiap tugas sebagai nyai dengan ketelitian seorang pembuat bom, takut satu gerakan yang salah akan memicu segalanya.
Willem, untungnya, tidak menyadari apa pun. Ia justru berada dalam suasana hati yang luar biasa baik. Rencananya untuk Pringgacala sepertinya berjalan mulus dalam benaknya. Ia sering bersenandung kecil, lagu-lagu dari negerinya yang terdengar sumbang di telingaku. Ia memberiku hadiah lagi, sepasang anting mutiara kecil.
"Untuk telinga yang selalu mendengarkan tuannya dengan baik," katanya suatu malam saat kami duduk di beranda. Ia menyesap jenevernya, matanya menatap kosong ke kegelapan taman. "Alles gaat goed, semuanya berjalan lancar, Laras. Proyek baru ini akan membawa banyak winst, keuntungan besar. Dan jika aku berhasil, mungkin aku akan dipromosikan ke Batavia."
Jantungku berdebar kencang.
Batavia.
Itu berarti ia akan pergi.
Tapi kemudian ia menoleh padaku, seulas senyum posesif tersungging di bibirnya.
"Dan natuurlijk, tentu saja, kamu akan ikut denganku. Aku akan membangunkanmu rumah yang lebih besar lagi di sana. Kamu akan menjadi nyai paling terpandang di Batavia."
Aku hanya bisa menunduk, memaksakan seulas senyum di bibir yang terasa kaku. Kata-katanya, yang seharusnya menjadi sebuah janji manis, terdengar seperti vonis hukuman seumur hidup. Ia tidak sedang menawarikan masa depan; ia sedang memperpanjang masa hukuman di dalam sangkar yang lebih besar dan lebih mewah.
Hari Sabtu berlalu dalam ketegangan.
Hari Minggu datang dan pergi seperti hantu.
Tidak ada kabar, tidak ada tanda, tidak ada isyarat apa pun dari Adi.
Ia tidak datang ke rumah.
Harapan yang sempat berkobar di hati mulai meredup, digantikan oleh bara keraguan yang dingin. Apakah ia pengecut? Apakah setelah melihat pesan itu, ia memutuskan bahwa risikonya terlalu besar dan memilih untuk menyelamatkan dirinya sendiri? Atau lebih buruk lagi, apakah ia telah menyerahkan kertas itu pada Willem? Apakah saat ini Willem hanya sedang mempermainkanku, menunggu lengah sebelum menjerat?