Kemenangan pertamaku tidak terasa manis. Rasanya malah seperti menelan segenggam pasir: sebuah pencapaian yang kasar, pahit, dan meninggalkan rasa haus akan sesuatu yang lebih. Rumah besar Willem berubah menjadi gunung berapi yang tertidur. Di permukaannya tampak tenang, namun aku bisa merasakan magma kemarahan mendidih tepat di bawah kakiku, siap meletus kapan saja.
Willem tidak lagi bersenandung. Ia tidak lagi memberi hadiah. Kelembutannya yang dulu seperti selubung sutra kini telah terkoyak, memperlihatkan tenunan kasar dari obsesi dan kekuasaan di baliknya. Ia lebih sering diam, tatapan matanya kosong saat menatap taman, namun saat tatapannya beralih padaku, ada intensitas baru yang membuatku merinding. Seolah-olah kegagalannya di Pringgacala telah membuatnya semakin bernafsu untuk memastikan satu hal, satu-satunya properti yang masih bisa ia kendalikan sepenuhnya harus tetap berada di dalam genggamannya.
"Kamu tidak akan pernah meninggalkanku, toch, Laras?" tanyanya suatu malam entah kenapa. Kami sedang duduk di beranda. Ia tidak mabuk, yang justru membuatnya terdengar lebih menakutkan.
Aku hanya menunduk, jantung berdebar pelan. "Saya adalah milik Meneer."
"Ja, precies," bisiknya, lebih pada dirinya sendiri. "Ya, tepat sekali."
Ia mulai memberlakukan aturan-aturan baru yang tak terucapkan. Aku tidak diizinkan lagi pergi ke pasar, bahkan dengan pengawalan. Waktuku di taman belakang kini terbatas. Ia ingin aku selalu berada dalam jangkauan pandangannya, sebuah pajangan berharga yang harus terus-menerus diawasi. Sangkar emasku kini terasa menyusut, jerujinya yang tadinya tak terlihat kini seolah tumbuh menebal di sekelilingku, menghalangi udara yang kuhirup.
Adi Wiranegara tidak pernah datang lagi ke rumah. Aku tahu itu adalah bagian dari strategi. Setelah menyampaikan pesannya, ia menarik diri agar tidak menimbulkan kecurigaan. Namun, ketiadaannya meninggalkan kekosongan yang menakutkan. Aku sendirian lagi dengan rahasia-rahasiaku, tanpa ada cara untuk menyalurkannya. Buku catatanku terasa semakin berat, setiap halaman yang kutambahi terasa seperti menambah beban rantai di kakiku.
Sekitar dua minggu setelah insiden Pringgacala, suasana di rumah tiba-tiba berubah. Para babu diperintahkan untuk membersihkan setiap sudut rumah hingga berkilau. Taplak meja terbaik dikeluarkan, peralatan makan dari perak dipoles, dan juru masak sibuk sejak pagi buta. Willem akan mengadakan jamuan makan malam.
"Tuan Residen dan beberapa pejabat penting dari Semarang akan datang," jelas kepala pelayan padaku, nadanya penuh kepentingan. "Meneer ingin semuanya perfect. Kamu nanti yang akan membantu menyajikan minuman."
Aku langsung mengerti.
Ini bukan sekadar jamuan makan malam biasa.
Ini adalah sebuah pertunjukan.
Sebuah upaya Willem untuk menyelamatkan mukanya, untuk menunjukkan kepada atasan dan rekan-rekannya bahwa ia masih memegang kendali, bahwa insiden kecil di sebuah desa terpencil tidak menggoyahkan posisinya. Ia akan menggunakan kemewahan rumahnya, anggur terbaiknya, dan aku sadar dengan perasaan mual. gundiknya yang patuh sebagai properti panggungnya.
Malam itu, aku mengenakan kebaya sutra berwarna merah anggur, warna yang dipilihkan Willem. Dengan anting mutiara di telinga dan tusuk konde perak di sanggul, aku tampak seperti boneka porselen yang didandani dengan sempurna. Saat para tamu mulai berdatangan, lelaki-lelaki Belanda dengan perut buncit, istri-istri mereka dengan gaun-gaun Eropa yang aneh dan senyum yang dipaksakan, aku berdiri diam di sudut ruang makan, siap dengan nampan berisi gelas-gelas jenever.
Mereka melewatiku seolah aku adalah bagian dari perabotan. Para lelaki membicarakan bisnis dan politik dengan suara keras, sementara istri-istri mereka bergosip tentang mode terbaru dari Eropa. Aku menunduk, memainkan peran, namun telingaku bekerja sekeras mungkin, menangkap setiap serpihan percakapan.