Rahasia yang kudengar di meja makan malam itu tidak lagi terasa seperti bara di dalam kantong. Ia telah berubah menjadi sebilah belati es yang terus-menerus menusuk jantung, dingin dan tanpa ampun.
Setiap kali aku memejamkan mata, terdengar tawa sinis para pejabat itu, melihat kilat serakah di mata mereka saat mengucapkan kata "pasifikasi". Mereka telah menenun kain kafan untuk ribuan orang, dan aku adalah satu-satunya saksi yang terkurung di dalam rumah sang penenun.
Kemenangan kecil di Pringgacala kini terasa hampa. Aku telah berhasil memadamkan sebuah korek api, namun kini tahu, mereka sedang bersiap untuk membakar seluruh ladang.
Kemarahan Willem atas insiden itu telah bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lebih gelap dan lebih personal: paranoia. Ia melihat bibit pembangkangan di mana-mana. Ia memecat dua tukang kebun hanya karena mereka tertawa terlalu keras saat bekerja. Ia menginterogasi juru masak tentang dari mana ia membeli berasnya, seolah-olah ada konspirasi di dalam setiap butir nasi.
Dan obsesinya padaku semakin menyesakkan. Ia seolah ingin merant Vaiku dengan kehadirannya. Ia sering muncul tiba-tiba di ambang pintu kamarku, hanya untuk menatapku dalam diam. Ia memintaku menemaninya membaca di ruang kerja, bukan untuk berbicara, tapi hanya agar aku duduk di sudut ruangan seperti pajangan yang setia. Sangkar emasku kini terasa sekecil peti mati.
Suatu sore, saat sisir tanduk itu bergerak pelan, menyusuri helai-helai rambutnya yang halus dan mulai menipis. Aku bisa mencium aroma tonik jeruk yang tajam dari kulit kepalanya, aroma seorang tuan yang sedang beristirahat dengan nyaman di wilayah kekuasaannya. Gerakanku teratur, mekanis, sebuah tugas yang kulakukan untuk membuat diriku tak terlihat.
Tiba-tiba, tangannya yang besar dan berurat menahan pergelangan tanganku, menghentikan gerakanku. Ia tidak menoleh, hanya terus menatap pantulan kami berdua di cermin meja rias yang kusam. Matanya yang biru tampak gelap di cahaya senja.
"Je bent van mij, weet je dat?" (Kamu milikku, tahu?), bisiknya, suaranya rendah dan berat, seolah kata-kata itu merayap keluar dari dalam dadanya dan melingkar di leherku.
Udara di sekitarku seolah menipis. Sisir di tangan mendadak terasa berat dan dingin, seperti sebilah pisau yang takkan pernah berani kugunakan.
Sebuah gumaman kecil yang nyaris tak terdengar lolos dari bibirku sebagai jawaban. Sebuah suara kepatuhan yang kubenci, sebuah dusta yang merobek sedikit lagi sisa-sisa jiwaku. Tanganku mulai gemetar hebat, bukan hanya karena takut, tapi karena gelombang kemarahan yang terperangkap di dalam urat nadi, berteriak tanpa suara, mencari jalan keluar.
Ia seolah merasakan getaran itu, namun salah mengartikannya sebagai ketakutan yang patuh. Ia melepaskan cengkeramannya.
"Aku tidak percaya siapa pun lagi di negeri terkutuk ini, Laras. Niemand. Tidak seorang pun." Ia berhenti sejenak, tatapannya di cermin mengunciku. "Hanya kamu."
Di sanalah rantai terberat itu dijatuhkan ke atas pundakku. Kepercayaannya bukanlah sebuah hadiah, melainkan sebuah cap kepemilikan yang dibakar ke dalam kulit. Ia tidak mengangkatku sebagai sekutu; ia hanya menandai ternaknya yang paling berharga di tengah kawanan yang penuh pengkhianat.
Di dalam keheningan sore itu, dengan tanganku yang masih gemetar di atas kepalanya, aku merasa seluruh paranoia dan kesepiannya yang kelam dilimpahkan kepadaku, membebani lebih berat daripada segala kebenciannya.
Kata-katanya yang seharusnya terdengar seperti pujian, justru terasa seperti ancaman. Ia tidak memercayaiku; ia hanya merasa telah memilikiku seutuhnya, sehingga aku tidak punya pilihan selain setia.
Kesalahpahaman inilah satu-satunya pelindung yang kumiliki, sebuah pelindung tipis yang bisa robek kapan saja.
Sementara itu, informasi tentang rencana "pasifikasi" terasa semakin membusuk di dalam benak.
Aku harus menyampaikannya pada Adi.
Tapi bagaimana?
Ia tidak pernah datang lagi.
Menunggunya adalah sesuatu yang tak kumiliki. Aku harus bertindak. Aku harus mencari jalan keluar, sebuah jarum di tumpukan jerami ini.