Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #8

Gaung di Lorong-lorong Sunyi

Sore itu, saat aku melihat Ratna kembali dari pasar, aku harus mengerahkan seluruh kekuatan untuk tidak berlari menyongsongnya. Aku tetap duduk di beranda, menyulam sehelai sapu tangan dengan benang putih, memainkan peran sebagai nyai yang sedang mengisi waktu luangnya.

Jantungku berdebar begitu kencang hingga aku takut jarum di tanganku akan menusuk jariku sendiri. Dari sudut mata, aku mengawasinya berjalan gontai menuju pintu belakang, keranjang belanjanya tampak berat. Wajahnya tidak menunjukkan apa-apa, tidak ada tanda keberhasilan, tidak ada tanda kegagalan. Wajahnya adalah topeng yang sama datarnya dengan topengku.

Aku menunggu.

Menunggu hingga malam tiba, hingga Willem tenggelam dalam minumannya di ruang kerja.

Menunggu hingga seluruh pelayan menyelesaikan tugas mereka dan rumah besar ini mulai menarik napasnya yang sunyi.

Aku menyelinap ke dapur dengan alasan ingin mengambil segelas air. Ratna sedang membersihkan meja batu yang besar, gerakannya lambat, punggungnya menghadapku.

Aku berdiri diam di ambang pintu, tidak berani bersuara. Keheningan di antara kami terasa begitu pekat, sarat akan pertanyaan yang tak terucap. Setelah beberapa saat ia meletakkan kain lapnya. Tanpa menoleh, ia berbicara, suaranya nyaris berbisik, seolah menyatu dengan suara jangkrik di luar.

"Toko buku itu ramai sekali," katanya. "Saya hanya melihat-lihat sebentar, lalu pergi."

Jantungku mencelos.

Sebuah kegagalan.

Pesanku tidak sampai.

Gelombang keputusasaan yang dingin mulai merayapiku.

"Tapi ..." lanjutnya pelan. "... tadi di pasar, saat saya membeli tembakau untuk Meneer, penjualnya memberikan sebungkus lebih. Katanya titipan dari seorang juru tulis muda." Ia berhenti, lalu menoleh padaku. Matanya yang lelah menatapku lekat. "Penjual itu bilang, 'Naga tidak makan tembakau. Naga memakan api'."

Naga memakan api.

Itu dia jawabannya.

Pesan balasan yang dikirimkan melalui jalur yang tak terduga. Adi tidak hanya menerima pesanku, ia juga telah membangun jaringan, sebuah rantai bisikan yang merambat dari toko buku hingga ke kios tembakau di pasar. Ia mengerti dan ia sedang bersiap.

Aku tidak bisa menahan senyum kecil yang tersungging di bibirku. "Terima kasih, Mbak Ratna," bisikku, suaraku bergetar karena kelegaan. "Terima kasih."

"Jangan berterima kasih pada saya, Nona," sahutnya getir. "Doakan saja agar naga itu tidak membakar kita semua."

Keesokan harinya, gema dari perlawanan sunyi di Pringgacala mulai terasa di dalam rumah. Willem menerima surat dari Batavia. Aku tidak tahu apa isinya, tapi aku melihat wajahnya yang pucat pasi setelah membacanya. Ia dipanggil ke Semarang untuk menghadap Residen, kemungkinan besar untuk dimintai pertanggungjawaban atas penundaan proyek. Amarahnya yang meledak-ledak kini telah berubah menjadi sesuatu yang lebih dingin dan lebih berbahaya: kecurigaan yang sistematis.

Ia mulai menginterogasi para pelayan, satu per satu dengan pertanyaan-pertanyaan tajam yang menjebak. Ia menanyai mereka tentang siapa saja yang datang ke rumah, siapa yang berbicara dengan siapa, apakah ada hal-hal aneh yang mereka lihat atau dengar. Ia mencari kebocoran, mencari pengkhianat di antara kami.

Aku tahu giliranku akan tiba.

Aku mempersiapkan diri, membangun benteng pertahanan di dalam benak, melatih setiap jawaban yang akan kuberikan.

Suatu sore, ia memanggilku ke ruang kerjanya. Ini adalah pertama kalinya ia melakukannya sejak insiden Pringgacala. Ruangan itu terasa dingin, jendela-jendelanya tertutup rapat, menyisakan kami berdua dalam cahaya lampu minyak yang temaram.

"Duduk," katanya, menunjuk sebuah kursi di hadapan mejanya yang besar. Ia tidak duduk di kursinya sendiri, melainkan berdiri, berjalan mondar-mandir di belakangku seperti seekor harimau di dalam kandang.

"Kamu sudah berapa lama di sini, Laras?" tanyanya, suaranya tenang.

"Hampir setahun, Meneer."

Lihat selengkapnya