Kereta kuda Willem kembali tepat saat senja membenamkan paku-paku jingganya di ufuk barat. Aku mendengarnya dari jendela kamarku. Suara derak roda, ringkikan kuda yang lelah, dan tawa kasar para lelaki yang puas dengan hasil perburuan mereka.
Aku segera merapikan sanggulku, membasuh wajahku yang pucat dengan air dingin, dan mengenakan kembali topeng ketenangan yang telah menjadi kulit keduaku.
Saat aku turun untuk menyambutnya, aku adalah nyai-nya lagi, patuh dan tak terlihat.
Ia tampak dalam suasana hati yang jauh lebih baik. Keringat dan bau hutan yang melekat di tubuhnya seolah telah membersihkan racun kegagalan dari dalam dirinya. Ia menepuk-nepuk perutnya yang buncit dengan bangga, menceritakan pada siapa saja yang mau mendengar tentang seekor babi hutan raksasa yang berhasil ia tembak tepat di antara kedua matanya. Ia melemparkan topi berburunya ke atas meja dan menatapku dengan sorot mata lapar.
"Ah, mijn meisje," katanya, suaranya berat. "Tuang aku jenever. Malam ini kita merayakan kemenangan."
Aku menurut tanpa kata. Malam itu, dan hari-hari berikutnya, adalah sebuah siksaan dalam bentuk ketenangan. Willem, yang telah memulihkan kejantanannya di hutan, kembali pada kelembutannya yang posesif. Ia akan memintaku duduk di pangkuannya saat ia membaca koran dari Batavia, jemarinya membelai rambutku sementara matanya menelusuri kolom-kolom berita. Ia akan memberikanku hadiah-hadiah kecil lagi. Sebuah kipas dari kayu cendana, sebotol parfum dari Eropa yang baunya membuatku pusing.
Semua ini adalah neraka. Setiap sentuhan lembutnya terasa seperti sengatan kalajengking. Setiap hadiahnya terasa seperti batu tambahan yang membebani kakiku. Di luar, aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Di dalam, aku menjerit.
Pikiranku tidak pernah ada di sini. Pikiranku selalu berada di luar gerbang tinggi itu, di sebuah gang sempit di Semarang, bertanya-tanya. Apakah Adi berhasil? Apakah informasi yang kubawa berguna? Atau apakah semua pengorbanan dan kenekatanku sia-sia?
Ratna tidak pernah lagi membahas soal naga. Kami kembali pada rutinitas kami di dapur, berbicara hanya seperlunya tentang bumbu dan resep. Namun, kini ada ikatan tak terucap di antara kami. Terkadang, saat kami hanya berdua, matanya akan menatapku sejenak, sebuah tatapan yang mengandung campuran ketakutan dan rasa hormat yang aneh, sebelum ia kembali sibuk dengan pekerjaannya. Kami adalah dua konspirator dalam kebisuan, menunggu gema dari batu yang telah kami lempar ke dalam kolam.
Gaung itu datang hampir tiga minggu kemudian, bukan melalui bisikan rahasia, melainkan melalui sebuah ledakan yang mengguncang tatanan kolonial di Semarang.
Berita itu datang bersama Tuan Residen sendiri, yang kali ini datang tanpa diundang, wajahnya merah padam karena amarah. Aku sedang menyajikan teh di beranda saat ia tiba, langsung menyelonong masuk dan membanting sebuah gulungan kertas tebal di atas meja di hadapan Willem.