Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #10

Sangkar yang Mencekik

Kemenangan memiliki gaung yang aneh. Di dalam keheningan rumah besar ini, gaung kemenangan pertamaku terdengar seperti lonceng kematian yang tertunda. Surat protes dari para priyayi itu memang berhasil menghentikan rencana "pasifikasi" untuk sementara, namun sebagai gantinya, ia telah membangkitkan iblis yang tertidur di dalam diri Willem Van Houten.

Amarahnya yang meledak-ledak telah padam, digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih menakutkan: sebuah ketenangan yang dingin dan terfokus. Ia tidak lagi membanting guci atau meneriaki para pelayan. Ia kini bergerak di dalam rumah seperti hantu, matanya yang biru selalu mengawasi, mencari, dan menelisik. Paranoia telah menjadi napasnya, dan objek utama dari paranoia itu, secara tak terduga, bukanlah para juru tulis atau mandornya.

Objeknya adalah aku.

Ia tidak mencurigaiku sebagai pengkhianat. Tidak. Di matanya, aku terlalu bodoh dan tidak berarti untuk bisa melakukan hal serumit itu. Sebaliknya, kegagalannya di dunia luar telah membuatnya berbalik ke dalam, ke satu-satunya wilayah yang masih bisa ia kuasai sepenuhnya: diriku. Ia seolah ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa meskipun ia mungkin kehilangan kendali atas tanah dan politik, ia tidak akan pernah kehilangan kendali atas gundiknya.

Obsesinya kini menjadi satu-satunya udara yang kuhela, menyesakkan dan beracun. Ia memecat babu tua yang biasa menemaniku, dengan alasan perempuan itu terlalu lambat. Ia menggantinya dengan seorang perempuan muda pendiam yang matanya selalu tertunduk, yang jelas-jelas ditugaskan untuk tidak hanya melayaniku, tapi juga mengawasiku. Taman belakang, yang dulu menjadi tempatku mencuri napas kebebasan, kini terlarang bagiku kecuali jika ia menemaniku.

"Udara luar tidak baik untukmu," katanya suatu sore, saat aku menatap rindu ke arah rumpun bambu dari jendela kamarku. "Di sini, di dalam, aku bisa memastikan kamu aman. Veilig."

Aman.

Kata itu terdengar seperti vonis.

Sangkar emasku kini telah menyusut hingga seukuran kamarku sendiri.

Ia mulai menenggelamkanku dalam kebaikan yang mencekik. Ia akan membacakan puisi-puisi dari negerinya untukku di malam hari, suaranya yang berat terdengar seperti mantra yang试图menidurkan kewaspadaanku. Ia akan memintaku duduk berjam-jam di ruang kerjanya selagi ia bekerja, hanya agar ia bisa sesekali menatap, seolah kehadiranku adalah sauh yang menenangkan badai di dalam dirinya.

Suatu malam, ia kembali dari kantor dengan ekspresi yang aneh, campuran antara kegembiraan dan kekesalan. Ia membawa sebotol anggur mahal, sesuatu yang biasanya hanya ia buka untuk tamu-tamu penting.

"Tuang untuk kita berdua," perintahnya, saat kami duduk di ruang makan yang terasa kosong dan dingin.

Aku menurut dalam diam. Ia menatap lekat saat aku menuangkan cairan merah pekat itu ke dalam gelas kristal.

"Aku mendapat tawaran hari ini," katanya, memutar-mutar gelasnya. "Tawaran promosi ke Batavia. Posisi yang sangat bagus. Rumah yang lebih besar, gaji yang lebih tinggi."

Jantungku berhenti berdetak sejenak. Batavia. Sebuah kota besar. Sebuah kesempatan, sekecil apa pun, untuk melarikan diri, untuk menghilang di tengah keramaian. Secercah harapan yang begitu menyilaukan tiba-tiba menerobos kegelapan yang menyelimutiku.

"Tentu saja aku menolaknya," lanjutnya dengan santai.

Harapan itu padam secepat ia datang, meninggalkan abu yang pahit di kerongkonganku.

"Kenapa, Meneer?" tanyaku, mencoba menjaga suaraku agar tidak bergetar.

Ia meraih tanganku di atas meja, cengkeramannya erat. Ia menatapku dengan intensitas yang membuat ingin menarik diri.

Lihat selengkapnya