Sebelum pergi, loper itu memberikan sebuah anggukan. Sebuah gerakan kepala yang menjadi sauh sekaligus badai di dalam benakku. Sauh, karena ia memberiku setitik harapan bahwa pesanku akan sampai. Badai, karena aku tidak tahu kapan dan bagaimana ia akan sampai, atau apa yang akan terjadi sesudahnya.
Hari-hari berikutnya, setiap fajar menyingsing, aku akan menahan napas saat mendengar lonceng gereja berdentang enam kali. Mengintip dari balik tirai, mengamati sosok kurus loper koran itu saat ia melemparkan gulungan surat kabar ke teras. Ia tidak pernah lagi menatap ke arahku. Hanya melakukan tugasnya seperti biasa, seolah pertemuan singkat kami di antara pilar-pilar teras itu tidak pernah terjadi.
Keheningan ini adalah sebuah siksaan.
Apakah ia telah menyerahkan pesanku?
Apakah pesannya sampai ke tangan yang benar?
Ataukah ia hanya seorang pemuda yang ketakutan dan telah membakar kertas kecilku sesaat setelah ia menghilang di tikungan jalan?
Aku tidak punya cara untuk mengetahuinya. Aku kembali terperangkap dalam duniaku yang sunyi, di mana satu-satunya teman bicaraku adalah keraguan.
Willem, di sisi lain, semakin memperketat cengkeramannya. Insiden surat protes itu telah membuatnya paranoid. Ia menambah jumlah penjaga di gerbang depan dan mulai memasang teralis besi di beberapa jendela paviliun belakang. Rumah besar ini kini benar-benar terasa seperti sebuah benteng, atau lebih tepatnya, sebuah penjara dengan keamanan maksimum.
"Kita tidak bisa tidak terlalu berhati-hati," katanya suatu malam, saat kami berdiri di beranda menatap para kuli yang sedang memasang teralis. "De duivel slaapt nooit, Laras. Iblis tidak pernah tidur."
Ia tidak tahu bahwa iblis yang paling ia takuti sedang berdiri tepat di sampingnya, mengangguk patuh.
Malam itu, sekitar seminggu setelah aku memberikan pesanku, aku terbangun oleh suara yang aneh. Bukan suara badai atau detak jam, melainkan suara gemeretak pelan seperti kayu kering yang terbakar, disusul oleh teriakan panik dari arah taman.
"API! API!"
Aku terlonjak dari ranjang. Jantungku serasa melompat ke tenggorokan. Aku berlari ke jendela dan menyibakkan tirai. Pemandangan di luar membuat darah membeku. Di salah satu sudut beranda depan, api berwarna oranye terang menjilat-jilat salah satu pilar kayu, melahap kursi rotan yang ada di dekatnya. Asap hitam yang pekat mengepul ke langit malam, membawa serta bau terpentin yang menyengat.