Rumah besar ini tidak pernah benar-benar pulih dari malam api itu. Bekas hangus di pilar beranda mungkin telah ditutupi dengan cat baru, tapi bau asap seolah telah meresap ke dalam dinding, menjadi hantu permanen yang mengingatkan kami semua akan kerapuhan dunia kami. Ketakutan kini menjadi bumbu utama dalam setiap masakan, menjadi benang dalam setiap jahitan, menjadi keheningan di antara setiap percakapan.
Willem telah berubah. Ia tidak lagi hanya seorang tuan yang paranoid; ia telah menjadi seorang sipir di penjaranya sendiri. Ia membawa pistol kecil yang diselipkan di pinggangnya ke mana-mana, bahkan saat makan di mejanya sendiri. Matanya yang biru terus-menerus bergerak, memindai setiap bayangan, mencurigai setiap suara.
Ia memecat loper koran yang lama, menggantinya dengan seorang anak lelaki dari desa lain yang harus menyerahkan koran langsung ke tangan penjaga.
Sebagai seorang Kontrolir seperti Willem Van Houten yang memiliki kekuasaan yang nyaris absolut di wilayahnya. Kata-katanya adalah hukum tidak resmi. Ia tidak perlu menjadi atasan formal untuk membuat seseorang kehilangan pekerjaannya, terutama jika orang itu adalah seorang pribumi. Apalagi hanya seorang loper koran.
Jalur komunikasiku yang tipis dan rapuh itu telah putus. Aku kembali terisolasi, terkurung bersama rahasia-rahasiaku yang semakin membebani.
Di tengah ketegangan yang mencekik ini, aku mulai merasakan perubahan aneh di dalam tubuhku. Awalnya, aku mengabaikannya, menganggapnya sebagai dampak dari stres dan ketakutan yang terus-menerus. Pusing yang datang tiba-tiba saat aku bangkit dari kursi. Gelombang mual yang menyerangku di pagi hari, yang berhasil kusembunyikan dengan dalih salah makan. Kelelahan yang luar biasa, yang membuat tulang-tulangku terasa seperti besi, bahkan setelah tidur semalaman.
Aku menyalahkan udara yang pengap, makanan yang terlalu kaya, atau sekadar ketakutan yang menggerogoti fisikku. Aku menolak untuk memikirkan kemungkinan lain. Kemungkinan yang begitu mengerikan hingga benakku sendiri tidak berani membentuknya menjadi sebuah kata.
Namun, tubuh tidak bisa berbohong.
Suatu pagi, saat aku sedang membantu Ratna di dapur, aroma bawang yang ditumis tiba-tiba terasa begitu menyengat, begitu memuakkan, hingga aku harus berlari ke halaman belakang dan memuntahkan isi perutku yang kosong di dekat semak-semak. Aku terbatuk-batuk, tubuhku gemetar, keringat dingin membasahi pelipisku.
Ratna mengikutiku, membawa segelas air putih hangat. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berjongkok di sampingku, tangannya yang keriput menepuk-nepuk punggungku dengan gerakan yang menenangkan. Saat aku akhirnya bisa bernapas kembali, aku menatapnya. Di matanya yang lelah, aku tidak melihat rasa kasihan. Aku melihat sebuah pemahaman. Sebuah pengetahuan kuno yang dimiliki oleh setiap perempuan.
"Sudah berapa lama, Nona?" tanyanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Aku tidak perlu bertanya apa maksudnya.
Aku tahu.
Dan pertanyaan itu menghantamku seperti godam.
Aku mulai menghitung dalam hati. Menghitung bulan-bulan yang telah berlalu sejak malam pertamaku di rumah ini. Menghitung siklus bulan yang datang dan pergi di langit. Menghitung siklus di dalam tubuhku sendiri, siklus yang telah berhenti tanpa kusadari di tengah kekacauan hidupku.
Jawabannya menusukku.