Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #13

Dua Dunia

Kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimku mengubah segalanya. Ia menjadi jangkar sekaligus badai. Jangkar, karena ia memberiku alasan baru yang begitu kuat untuk bertahan hidup, untuk melihat fajar di hari esok. Badai, karena kehadirannya menghancurkan duniaku yang lama, memaksaku untuk membangun kembali segalanya di atas puing-puingnya.

Willem, dalam kebahagiaannya yang meluap-luap, menjadi sipir yang paling penyayang. Ia memperlakukanku bukan lagi seperti gundik, melainkan seperti sebuah pusaka suci yang terbuat dari kaca tipis. Setiap pagi, ia akan membawakan segelas susu hangat untukku. Ia akan berjalan di sisiku saat aku menyusuri lorong, siap menangkapku jika aku tersandung. Obsesinya yang dulu terasa seperti rantai besi yang dingin, kini telah berubah menjadi belenggu emas yang hangat, yang justru terasa lebih berat dan lebih mencekik.

"Kamu harus menjaga dirimu baik-baik, mijn liefste," katanya suatu hari, saat ia menemukanku sedang mencoba meraih sebuah buku dari rak yang agak tinggi. Ia mengambil buku itu untukku, tatapannya penuh teguran lembut. "Jij draagt mijn zoon. Kamu mengandung putraku. Tidak ada yang lebih penting dari itu."

Putranya katanya.

Bukan anak kami.

Selalu putranya.

Seolah aku hanyalah tanah subur tempat ia menanam benihnya. Berdasarkan perintahnya, seorang dokter Belanda dari Semarang mulai datang memeriksaku setiap dua minggu sekali. Ia memberiku daftar panjang berisi larangan: aku tidak boleh makan makanan pedas, tidak boleh terlalu lelah, tidak boleh berjalan terlalu jauh. Tubuhku, yang tadinya menjadi satu-satunya milikku, kini telah dijajah sepenuhnya. Setiap denyut nadi, setiap helaan napas, kini diatur oleh kepentingan sang pewaris Van Houten.

Puncaknya adalah saat ia secara resmi melarangku keluar dari gerbang rumah. "Terlalu berbahaya," katanya, menepis semua bantahanku. "Udara di luar penuh penyakit. Orang-orang pribumi itu kotor. Aku tidak akan mengambil risiko apa pun yang bisa membahayakan anakku."

Sangkar emasku kini telah tertutup rapat dan dikunci dari luar. Aku terputus sepenuhnya. Berita dari dunia luar hanya kudapatkan dari koran De Locomotief yang dibaca Willem, atau dari serpihan gosip yang dibawa Ratna dari pasar, dan kini ia sangat berhati-hati saat berbicara denganku.

Aku hidup di dalam sebuah gelembung mewah, terasing dari perang yang sedang coba kumenangkan. Aku adalah seorang jenderal yang terkurung di dalam menara gading, sementara pasukanku bertempur entah di mana.

Frustrasiku tumbuh menjadi sebuah kesunyian yang menyakitkan. Bagaimana dengan Adi? Apakah ia tahu aku mengandung? Pikiran itu menyiksaku di malam-malam yang panjang. Aku membayangkan wajahnya yang kecewa, tatapan matanya yang terluka.

Lihat selengkapnya