Gunung Wingit

OvioviO
Chapter #1

Persiapan Ransel Ajaib #1

Pukul 06.00 WIB, suara alarm Doraemon yang disetel Bagus dengan volume maksimal sudah membelah keheningan pagi di kontrakan mereka. Namun, alarm itu tidak sebanding dengan kekacauan visual yang terhampar di ruang tengah kontrakan lima sekawan itu.

Pendakian ke Gunung Wingit, yang menurut peta resmi hanyalah bukit terjal biasa, tetapi menurut legenda lokal penuh dengan hantu penjual jamu, dijadwalkan pukul 08.00. Artinya, tersisa dua jam untuk menyelesaikan pengepakan yang, bagi Bagus, berarti ritual memasukkan seluruh isi rumahnya ke dalam ransel berkapasitas 80 liter yang telah dimodifikasi secara absurd.

“Rin, thermal blanket yang gue bawa udah sesuai standar NASA belom? buat melindungi kita dari hype dinginnya gunung” teriak Bagus dari tengah tumpukan barang.

Rina, yang paling logis diantara mereka, sedang mencoba menyortir perbekalan makanan yang dibawa Joko. Ekspresinya menunjukkan perpaduan antara jijik dan keputusasaan.

“Bagus, kita mendaki di ketinggian dua ribu meter, bukan ke Pluto! Dan itu bukan thermal blanket, itu selimut darurat yang lo dapet dari paket makanan pesawat terbang!” balas Rina, sambil menunjuk ke arah selimut perak kusut yang tergeletak di samping sebuah alat yang mencurigakan.

Di sudut ruangan, Joko—si foodie yang bertubuh subur—tengah berkonsentrasi penuh. Dia tidak sedang memasukkan bekal ke dalam daypack-nya, melainkan sedang membuat Nasi Tumpeng Mini Tujuh Warna di atas piring plastik kecil. Di sekelilingnya, ada berlusin-lusin kotak bekal berisi rendang paru, gulai kambing, dan sebuah panci sup buntut beku.

“Ini bukan cuma bekal, Rin,” kata Joko tanpa menoleh, tangannya sibuk menata sepotong ketimun berbentuk bunga. “Ini tuh Sesajen Keselamatan Jalur Pendakian. Ritual yang harus dilakuin agar kita enggak tersandung akar pohon yang dendam.”

Santi, si influencer pendakian dengan follower lebih banyak dari jumlah pohon di gunung, tidak peduli dengan ritual Joko atau kekacauan Bagus. Ia duduk di lantai, mencari angle cahaya terbaik untuk melakukan siaran langsung persiapan pendakiannya.

“Guys, hello! Morning vibe dari basecamp sebelum kita taklukkan Gunung Wingit! Lihat nih, outfit pendakian aku limited edition banget, glows in the dark!” Santi berbicara ke ponselnya, sama sekali mengabaikan fakta bahwa outfit itu terlihat lebih mirip kostum rave party daripada pakaian outdoor.

“Santi, tolong matikan ring light-nya. Gue enggak bisa bedain mana senter dan mana headlamp,” gerutu Rina.

Sementara itu, Bagus dengan bangga mengangkat sebuah benda yang terbuat dari pipa paralon bekas, kabel USB, dan baterai mainan.

“Ini Rin, ‘Drone Pengintai Multiguna Anti-Kabut’ ciptaan gue! Klo kita tersesat, ia bakal terbang dan memproyeksikan rute GPS ke langit malam!”

Rina memijat pelipisnya. “Bagus, benda itu terakhir kali lo coba di taman, malah terbang lurus nabrak tiang listrik tetangga. Kita punya peta, kita punya kompas yang layak, dan kita punya Tio. Dia lebih bisa diandalkan daripada drone mainan lo.”

Di balik pintu kamar mandi, Tio akhirnya muncul. Tio adalah anomali di antara mereka. Dia pendiam, selalu tampak tenang, tetapi memiliki kebiasaan aneh, Dia berkomunikasi dengan benda-benda mati.

Ia membawa ranselnya, yang terlihat paling kecil dan paling teratur di antara yang lain.

“Pintu gue bilang, kita bakal ngalamin trouble di kilometer keenam, tepat setelah pohon beringin yang terlihat sangat bosan,” kata Tio datar, sambil mengusap kenop pintu. “Dia juga bilang, jangan lupa bawa payung. Bukan untuk hujan, tapi untuk hal yang lebih penting.”

“Lihat! Predictive power Tio adalah backup terbaik kita!” seru Bagus, yang langsung melempar sebuah payung lipat ke dalam ranselnya, tanpa bertanya kenapa harus membawa payung saat cuaca cerah.

Joko dengan hati-hati meletakkan Tumpeng Mini Tujuh Warna di tengah lantai, menyalakan lilin ulang tahun kecil di puncaknya, dan mengajak semua orang berfoto sebelum memulai ritual.

“Ayo, kawan-kawan. Demi jalur yang lancar dan hantu yang tidak mengganggu porsi makan kita!”

Santi dengan sigap mengambil foto, memasang caption provokatif: “Ready to conquer the peak! Spirits, prepare to be impressed!” Rina hanya bisa berdoa dalam hati, berharap dewa-dewa pendakian lebih logis daripada teman-temannya.

Setelah ritual foto bersama tumpeng mini yang diikuti dengan upacara penghabisan tumpeng oleh Joko (ia tidak ingin bekalnya berkurang bahkan satu sendok nasi pun), kekacauan pengepakan kembali terjadi.

Fokus Rina kini beralih dari Joko ke Bagus. Rina, sebagai satu-satunya yang waras, merasa bertanggung jawab atas keamanan fisik dan mental kelompok.

“Bagus, yok kita cek ulang isi ransel lo,” desak Rina, menunjuk ransel Bagus yang kini membengkak seperti tumor. “Gue sudah lihat drone mainan, payung lipat, dan sarden kalengan berlimpah. Tapi, di mana survival kit yang benar-benar penting?”

Bagus terkekeh, memasukkan sekantong penuh permen jeli yang ia yakini dapat menggantikan elektrolit. “Rin, survival kit itu konsep kuno. Kita para master pendaki era baru bawa Hybrid Kit! Lihat ini.”

Bagus mengeluarkan tiga benda dengan bangga:

* Sebuah Vakum Cleaner Portable mini (ukuran handheld). “Untuk membersihkan tenda dari debu ‘energi negatif’!”

* Satu set Obeng Lengkap dengan 50 jenis mata obeng. “Kita enggak pernah tahu kalau harus membongkar jalur pendakian yang rusak!”

* Sebuah Replika Pistol Air berwarna neon. “kalo kita diserang binatang buas, kita tembak mereka pake air. Mereka pasti kebingungan dan melarikan diri!”

Rina menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam. “Bagus, kita akan mendaki gunung, bukan memperbaiki mesin cuci. Dan pistol air? Kita butuh pisau lipat atau suar, bukan mainan buat ngusir beruang!”

“Oh, soal pisau,” sela Bagus santai, ia merogoh saku kecil ranselnya dan mengeluarkan sebuah Kartu Kredit berwarna emas. “Kalo terjadi keadaan darurat, gue selalu percaya pada kekuatan helicopter emergency rescue.”

“Kita mendaki Gunung Kidul Gila, Bagus. Jaringannya saja putus-putus. Helikopter bakal ngira lo minta diantar ke restoran mewah, bukan dievakuasi!” Rina hampir berteriak.

Tiba-tiba, Santi berdiri, mematikan siaran langsungnya sejenak dengan ekspresi serius. “Guys, gue punya ide. Bagaimana kalau kita semua unboxing peralatan kita di depan kamera? Aku bisa membuat ‘Pendakian Terabsurd Challenge’.”

Joko yang sedang sibuk menyantap sisa nasi tumpeng, menimpali, “Asal jangan unboxing perut gue. Gue lagi menyimpan energi terbaik buat ngelawan rasa lapar.”

Tio, yang baru saja selesai menalikan sepatu botnya, berbicara pelan. “Sepatuku berkata, Santi harus berhati-hati. Kabel headset-nya akan tersangkut di dahan pohon dan dia akan kehilangan separuh alisnya.”

Santi, bukannya takut, malah sibuk memeriksa alisnya di kamera depan ponsel. “Tio, itu ide bagus untuk thumbnail! ‘Pendaki Kehilangan Alis karena Alasan Mistis!’ Clickbait yang sempurna!”

Bagus, terinspirasi oleh ide Tio, buru-buru memasukkan beberapa meter kabel ekstensi. “Kita butuh energi! Untuk drone, ring light, dan tentu saja, microwave portable mini milik Joko.”

Lihat selengkapnya