Pagi hari di Gunung Wingit tidak membawa pemandangan indah yang menenangkan seperti yang dijanjikan oleh brosur pendakian. Yang ada hanyalah kabut tebal yang menusuk tulang dan pemandangan Tenda Anti-Gorengan Bagus yang tampak menyedihkan, miring ke satu sisi dengan groundsheet yang robek dan beberapa kotoran kambing di sekitarnya.
Lima pendaki itu keluar dari tenda dengan kondisi mental dan fisik yang babak belur. Rina terlihat lelah dengan kantung mata yang tebal, Bagus terlihat frustrasi karena ‘teknologi’nya tidak berguna melawan kambing maupun hantu penjual jamu, dan Santi terlihat... sama, hanya saja ia kini lebih fokus menghemat baterai ponsel. Joko adalah satu-satunya yang segar berkat asupan rendang hangat dini hari.
“Tenda kita harus segera diperbaiki,” keluh Rina, menatap robekan di groundsheet. “Kita enggak bisa tidur di tenda yang udah kayak sarang tikus gini lagi.”
Bagus langsung merasa tertantang. “Perbaikan? Serahkan pada engineer Bagus! Gue punya Lem Super Multifungsi!”
Bagus mengeluarkan sebotol lem yang sudah setengah kering dari ranselnya. Namun, sebelum ia sempat beraksi, perhatian mereka semua teralihkan oleh sesuatu yang terhampar di tanah.
Tepat di samping sisa kotoran kambing dan bekas tancapan payung Nenek Jamu, terdapat beberapa jejak kaki di tanah yang basah.
“Jejak kaki?” tanya Santi, segera mengeluarkan ponselnya (baterai 10%) untuk mengambil gambar. “Ini pasti milik pendaki lain! Gue harus unggah ini!”
Rina berjongkok, mengamati jejak itu dengan cermat. “Tunggu. Ini aneh.”
Jejak kaki itu memang menyerupai telapak kaki manusia. Namun, ukurannya... tidak masuk akal. Jejak itu panjangnya sekitar 50 sentimeter dan lebarnya hampir 30 sentimeter, seukuran meja kecil. Bentuknya datar, tidak memiliki lengkungan khas kaki, dan sepertinya dibuat oleh kaki tanpa jari.
“Ini bukan jejak kaki manusia deh kayaknya,” kata Rina, kini benar-benar serius. “Ini gedhe banget. Mungkin Bigfoot, atau Yeti versi tropis?”
Bagus tertawa keras, rasa percaya dirinya kembali setelah ia berhasil melupakan insiden kambing. “Yeti? Jangan bodoh, Rin! Ini jelas jejak dari Sepatu Bot Pendakian Ultramega yang gue desain untuk mendistribusikan berat badan secara sempurna!”
“Tapi kan lo ga bawa, gus,” sela Rina, menunjuk ke sepatu hiking Bagus yang kotor.
“Ah, ya… replikanya ada di rumah,” Bagus menggaruk tengkuknya. “Mungkin ini milik Pendaki raksasa yang nyasar ngikutin jejak vlog Santi!”
Joko, yang sudah selesai mengemas microwave dan rendangnya, mendekat. Ia mengamati jejak itu dengan tatapan mistis.
“Gue tahu ini jejak siapa,” kata Joko dengan nada berbisik. “Ini adalah jejak Siluman Penunggu Indomie Goreng.”
Semua orang menatapnya.
“Siluman Penunggu Indomie Goreng?” Rina memijat pelipisnya.
“Ya! Dia adalah makhluk mitologis yang menjaga jalur pendakian dari orang-orang yang hanya membawa makanan mewah. Dia hanya makan Indomie Goreng, dan jejak kakinya besar agar dia bisa menginjak-injak semua bekal yang bukan Indomie!” jelas Joko, menunjuk ke jejak itu. “Gue pernah baca kisah ini di bungkus Indomie edisi terbatas!”
Santi segera mengambil foto close-up jejak kaki itu. “Perfect! akan caption ini: ‘Jejak Kaki Raksasa! Hantu yang Menuntut Makanan Kaleng!’”
Tio, yang baru saja selesai berbicara dengan salah satu kotoran kambing, mendekat ke jejak itu.
“Kotoran kambing ini bilang, jejak ini dibuat tadi malam oleh seseorang yang lagi buru-buru,” kata Tio. “Dia juga bilang, orang itu membawa sesuatu yang berat dan sangat dingin.”
Joko seketika panik. Sesuatu yang berat dan dingin?
“Jangan-jangan... Siluman itu membawa Freezer Pendingin nyoba curi rendang gue!”
Untuk memastikan keselamatan perbekalannya, Joko buru-buru mengeluarkan bungkusan plastik berisi dua sandwich tuna kalengan yang ia bawa sebagai cadangan bekal ‘termurah’ yang ia miliki.
“Ini! Siluman Penunggu Indomie Goreng pasti mau makanan murah! Gue bakal kasih sesajen!”
Dengan ekspresi sangat serius, Joko meletakkan kedua sandwich tuna kalengan itu di tengah jejak kaki raksasa itu.
“Siluman Agung, terimalah sesajen termurah ini. Jangan ganggu microwave dan rendangku!”
Bagus dan Rina hanya bisa memandang Joko dengan tak percaya. Mereka kini punya masalah baru, meninggalkan sesajen sandwich tuna untuk makhluk mitologi kepercayaan joko di tengah hutan.
Setelah ritual persembahan sandwich tuna yang dilakukan Joko, suasana hati kelompok itu sedikit terangkat, meskipun Rina terus-menerus mengomel tentang polusi makanan yang mereka tinggalkan. Bagus mencoba mengalihkan perhatian dengan menunjukkan “teknik mendirikan tenda anti-kambing” barunya, yang melibatkan penggunaan pasak tenda yang diolesi balsam.
“Balsam ini,” jelas Bagus, mengoleskan minyak pedas ke pasak tenda. “Akan membuat kambing-kambing itu bersin dan menjauh. Ini adalah Metode Repellent Aroma Terapi!”
“Gus, itu hanya bakal bikin tenda kita bau balsem,” kata Rina datar.
Saat mereka sibuk dengan perbaikan tenda yang konyol itu, Joko terus melirik ke arah jejak kaki raksasa di mana ia meletakkan sesajen sandwich tuna. Dia berjalan menjauh untuk mengambil air di sungai kecil dekat sana, namun pikiran tentang sesajen itu terus mengganggu.
“Gue harus mastiin Siluman itu sudah menerima persembahannya,” bisik Joko kepada dirinya sendiri. “Jika dia tidak makan, dia mungkin kembali menuntut Rendang Paru-ku.”
Joko kembali ke tempat jejak kaki. Matahari kini mulai naik, menembus kabut, menyinari tanah lapang itu dengan cahaya redup.
Joko berhenti mendadak. Ia menggosok matanya, tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Dua bungkus sandwich tuna kalengan itu telah hilang.
Bukan hanya hilang dimakan. Di tempat sandwich itu tergeletak, tidak ada sisa remah, tidak ada sisa bungkus plastik, dan tidak ada jejak digaruk oleh binatang. Permukaan tanah di sekitar jejak kaki itu bersih, seolah-olah sandwich itu baru saja diangkat oleh tangan tak terlihat.
Joko berteriak nyaring, menarik perhatian teman-temannya yang sedang sibuk.
“Hilang! Mereka hilang! Siluman Penunggu Indomie Goreng sudah mengambil sesajennya!” Joko berlari kembali ke tenda dengan wajah pucat.