Pendakian menuju Menara Air Peninggalan Belanda terbukti menjadi tantangan fisik yang berat. Meskipun jaraknya hanya sekitar dua kilometer dari tempat persembunyian mereka, jalur itu licin, curam, dan dipenuhi semak berduri, seolah-olah alam sendiri berusaha keras untuk melindungi bangunan beton itu dari manusia.
Bagus, meskipun memiliki ransel paling besar, memimpin dengan penuh semangat, terinspirasi oleh ide benteng pertahanan Takeshi.
“Semangat, teman-teman! Setelah ini, kita bakal dapet sinyal minimal dua baris! Kita bakal menaklukkan gangguan frekuensi Arkeolog Vegetatif!” teriak Bagus, sambil memukuli semak-semak dengan replika pedang samurai mainannya.
Rina berjalan di belakangnya, wajahnya dipenuhi lumpur dan kelelahan. “Gue enggak peduli sinyal, Bagus! Gue hanya butuh tempat tanpa hantu yang mengkritik perbekalan Joko dan tanpa kambing yang merusak tenda!”
Joko, yang kini membawa microwave portabelnya di tangan, berjalan dengan kecepatan yang menyedihkan. Ketakutan akan Satpol PP yang menyita rendangnya membuatnya mengabaikan rasa lelah. Ia sesekali mencium bungkusan rendang di saku jaketnya untuk memotivasi diri.
“Gue nyium bau tanah yang sehat,” bisik Joko. “Bau yang tidak mengganggu rasa rendang. Ini adalah pertanda baik.”
Santi, yang sudah mematikan vlog-nya untuk menghemat baterai, berjalan dengan langkah cepat. Ia ingin segera mencapai menara agar bisa mengecek engagement dari unggahan “Kutukan Sandwich Hambar”-nya.
“Gue harap Menara Air itu punya socket listrik,” gumam Santi. “Kalau enggak, gue bakal kehilangan semua follower yang penasaran dengan kelanjutan cerita kita.”
Tio, berjalan paling belakang, tiba-tiba berhenti di samping sebuah batu besar yang terlihat sangat tua dan berlumut.
“Batu ini bilang, kita bakal segera bertemu kembali dengan seseorang yang sangat sensitif terhadap bau rendang,” kata Tio datar.
“Nenek Jamu lagi?” tanya Rina, mendesah. “Gue udah membuang air mineral premiumku. Gue udah enggak punya lagi amunisi anti-hantu.”
Tio mengangguk ke arah hutan. “Batu ini bilang, Nenek Jamu itu tidak pergi jauh. Dia hanya mencari lokasi yang lebih dramatis untuk sesi syuting-nya. Dan dia marah karena Santi merekamnya saat ia disiram air.”
Tiba-tiba, aroma yang sangat khas mulai menusuk hidung mereka. Bukan bau tanah atau daun, melainkan bau kunyit segar yang sangat tajam dan mendominasi, bercampur dengan sedikit aroma gula merah dan asam jawa. Aroma ini lebih pekat dan kuat dibandingkan aroma saat Nenek Jamu muncul sebelumnya.
“Aroma kunyit!” seru Joko. “Gue nyium baunya! Dia udah deket!”
Bagus segera mengeluarkan senjatanya, Vakum Cleaner Portabel mini miliknya. “Gue udah siap nyedot aura kunyit itu kalo dia ganggu kita lagi!”
Mereka mencapai puncak bukit kecil. Di depan mereka, tampak Menara Air Peninggalan Belanda. Bangunan itu berupa struktur besi berkarat dengan tangki air besar di puncaknya, dikelilingi pagar kawat berduri yang roboh. Di bawah menara, ada sebuah pondok penjaga kecil yang sudah reyot.
Dan, tepat di depan pondok reyot itu, berdirilah Nenek Jamu.
Ia tidak sedang bernyanyi. Ia sedang berdiri diam, menghadap ke Menara Air. Ia terlihat jauh lebih rapi daripada saat malam hari, kebaya lusuhnya kini terlihat disetrika, dan wajahnya dipoles make-up tipis yang terlihat menor di bawah kabut pagi. Ia memegang payungnya, yang terbuka, meskipun tidak hujan. Di sampingnya, tergeletak sebuah Tas Kamera Branded berwarna merah menyala yang jelas bukan tas penjual jamu biasa.
“Dia... dia sedang berpose?” bisik Santi.
Nenek Jamu itu kemudian berbicara, suaranya melengking namun kali ini terdengar lebih dibuat-buat seperti aktris teater.
“Oh, indahnya kesunyian... Di sini, aku bisa meracik ramuan herbal dengan vibe yang otentik. Tidak ada gangguan microwave rendang atau live report dari vlogger yang tidak tahu etika!”
Bagus, Joko, Rina, Santi, dan Tio berdiri terpaku. Nenek Jamu itu benar-benar sedang berpose untuk dirinya sendiri atau mungkin untuk kamera tersembunyi.
Tio menunjuk ke pondok penjaga. “Pondok itu bilang, Nenek Jamu itu bukan hantu. Dia adalah Tante Rosa. Dan dia sedang menunggu kameramen yang terlambat datang.”
Mereka berlima berjalan perlahan, melangkah hati-hati melewati pagar kawat yang roboh. Nenek Jamu, alias Tante Rosa, akhirnya menoleh dan melihat mereka. Ekspresi wajahnya berubah dari pose melankolis yang dramatis menjadi kekesalan yang mendalam, seolah-olah ia baru saja melihat review buruk tentang vlog-nya.
“Astaga! Kalian lagi!” Tante Rosa berseru, suaranya kini terdengar seperti ibu-ibu sosialita yang sedang kesal karena hairdo-nya rusak. “Kalian selalu merusak scene yang sudah kusiapkan dengan susah payah!”
Bagus memberanikan diri maju, ia merasa lega karena entitas yang mereka takuti ternyata adalah manusia (meskipun manusia yang sangat mengganggu).
“Maaf, Bu, eh, Nek. Kami tidak tahu Anda sedang syuting,” kata Bagus. “Tapi kami butuh tempat berlindung. Dan kami pikir Anda hantu sungguhan.”