Guratan Jingga

Claudia Lazuardy
Chapter #1

PROLOG

Kota Malang pada penghujung bulan Juli menunjukkan suhu udara yang nyaris mengilukan sendi. Udara pagi ini membuat sebagian orang lebih memilih untuk mengurung diri di dalam kamar, dan membungkus rapat tubuh mereka dengan selimut atau kain tebal. Alih-alih menarik selimut, aku malah bermandikan keringat hasil jerih payah sepuluh kali berlari mengelilingi lapangan. Sepuluh kali itu terlalu banyak. Biasanya, aku berlari hanya lima sampai enam kali putaran. Empat putaran sisanya adalah luapan emosi. 

Emosi yang tertahan hampir dua minggu ini berhasil lepas di antara derai keringat yang membasahi badan. Aku tidak pernah merasa sepuas ini. Berlari selain sudah menjadi rutinitasku sejak empat tahun yang lalu, juga ampuh untuk meluapkan segala macam emosi. Kegundahan, amarah, hingga kebahagiaan. Walaupun, aku pernah membaca artikel tentang fakta meluapkan amarah dengan berolahraga bisa berujung terkena serangan jantung. Namun, hal itu tidak pernah menyurutkanku. Entahlah, yang penting masih dalam batasan dan sesuai porsi saja. Lagi pula banyak penelitian lain yang melansir bahwa berlari dapat memperbaiki suasana hati dan meningkatkan produksi endorfin.

Sudah hampir satu jam menghabiskan waktu di lapangan sebesar ini, tapi tidak tampak satu manusia pun yang berlalu lalang. Lapangan ini berdekatan dengan sebuah SMA Negeri. Aku berhenti di sudut lapangan sembari melakukan pendinginan. Berselancar ke dalam memori pikiran untuk mengingat sebuah hari. Kemudian mengangguk sendiri saat mendapati siswa-siswi sekolah mulai berdatangan, dan berjalan menyusuri jalanan batako selebar bus mini yang menggaris panjang di sisi timur lapangan. Aku lantas tersenyum, lebih tepatnya meringis senang saat baru menyadari satu hal. Untuk kali pertama merasa sangat santai pada hari Senin di bulan-bulan yang menegangkan.

Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian olahraga lengkap tengah berjalan menghampiriku dengan membawa dua botol air mineral. Langkahnya semakin cepat dan semakin mendekat. Dia kini berdiri tepat di hadapanku. Kerutan di dahiku semakin berjajar saat dia menyodorkan satu botol air mineral kepadaku.

“Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku sembari berkacak pinggang.

Sebenarnya, aku sedang tidak ingin bertemu dengan siapa pun pagi ini. Apalagi bertemu dengannya. 

Lihat selengkapnya