Guratan Jingga

Claudia Lazuardy
Chapter #2

KEPUTUSAN

BINAR JINGGA MAHARANI yang artinya sinar kemerah-merahan seorang permaisuri. Dulu, ayahku menyematkan nama ini supaya aku menjadi seorang wanita yang lemah lembut bagai permaisuri. Sinar kemerah-merahan yang terpancar saat tersipu, melambangkan kecantikan alami permaisuri sebagai sosok wanita sejati. Lambat laun semua harapan itu sirna. Kenyataan yang terjadi adalah aku bukanlah seorang wanita yang lemah lembut. Aku membuang jauh-jauh makna itu dan mulai memahami bahwa Binar Jingga adalah sebuah makna dari kekuatan. Aku mendapati makna itu ketika melihat guratan jingga saat matahari terbit dan terbenam. 

Bayangkan, suasana saat matahari terbit. Manakala sang fajar menyingsing dari timur cakrawala. Udara sejuk, embun basah, dan goresan jingga yang bergurat indah menyajikan aroma kekuatan untuk menyongsong sebuah hari. Lalu, bayangkan saat matahari terbenam. Sekumpulan burung berserak kembali ke peraduannya. Suasana senja mulai menggelayut mesra menaungi sebagian bumi. Guratan jingganya selalu menawan walau banyak peristiwa yang terjadi pada hari itu. Jadi, aku lebih memilih untuk memaknainya sebagai kekuatan dan ketangguhan untuk semua hal yang akan aku hadapi. Termasuk kekuatan untuk melempar semua pendapat dan cemoohan beberapa orang. Sebab aku mengajukan pengunduran diri secara mendadak dari tempat kerjaku sebelumnya.

Aku bukan orang yang dapat bertahan pada sebuah kubikel tetap dalam jangka waktu yang lama. Bekerja secara tetap menjadi staf divisi pemasaran di salah satu perusahaan kosmetika yang sangat terkenal di negeri ini malah membuatku mati kutu. Empat tahun bertahan pada sebuah kenyamanan yang perlahan membunuh semua mimpi besarku. Hal ini adalah sebuah rekor fantastis sekaligus dramatis yang terjadi dalam hidupku. Ini bukan soal gaji atau bonus. Ini soal keharusan bereksplorasi untuk menggapai sebuah cita-cita yang telah lama terkubur dalam angan. Aku tidak ingin berhenti pada sebuah kegiatan yang tidak dapat mengembangkan bakat-bakatku. Aku harus mengasahnya demi menggapai semua mimpi besarku.

Ayahku adalah orang pertama yang menolak mentah-mentah saat aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan. Aku sangat mengerti kalau Ayah kecewa. Lebih tepatnya, Ayah khawatir akan masa depanku. Aku tidak berusaha meyakinkan siapa pun pada saat itu. Aku hanya meyakinkan diriku sendiri bahwa keputusanku benar dan tidak ada seorang pun yang dapat mengubah hal itu. Termasuk ayahku sendiri.

Selain itu, aku juga tidak terlalu mempedulikan risiko yang nantinya mungkin akan terjadi. Karena risiko adalah sebuah pasangan dari keputusan yang sudah diambil. Saat ini, yang terpenting adalah segera memulai untuk mewujudkan semua anganku yang cukup lama terabaikan.

***

Sore ini, angin semilir terasa menyapu seluruh wajah. Awan mendung bergelayut mesra menaungi Kota Batu. Angin dingin berembus menyingkap kardigan berwarna cokelat muda yang sedang kukenakan. Segera, aku merapatkan tali kardigan dan melingkarkannya ke bagian pinggang, lalu berjalan agak cepat melewati jalan setapak yang penuh tanaman mawar di kanan kirinya. Aku membuka pagar kayu yang tingginya sekitar tiga puluh sentimeter lebih di atasku. Angin berembus lebih kencang saat aku memasuki halaman belakang rumah Kakek. Aku lantas mendongak ke arah langit yang berwarna pucat keabu-abuan. Menyapu pemandangan langit yang luas membentang seraya menikmati terpaan angin. Agaknya, hujan akan segera turun. Aku mungkin akan mengurungkan niat untuk mengajak Kakek bersepeda sore ini.

Kakek tampak sedang duduk bersandar di sofa tua dekat pot bunga besar seraya membaca buku. Aku berjalan menghampirinya dan mencium tangannya.

“Baru datang. Duduk sini,” ucap Kakek seraya menepuk sofa tanpa menoleh.

“Apa Kakek masih mau bersepeda? Sepertinya mau hujan.”

Kakek menggelengkan kepala. Kami terdiam beberapa menit. Aku tidak berani memulai pembicaraan lagi. Sepertinya, suasana hati Kakek sedang kurang baik. 

Lihat selengkapnya