Guratan Jingga

Claudia Lazuardy
Chapter #3

BEBAS

Pagi hari, matahari terasa begitu terik menyebarkan segudang kehangatan. Suhu udara menjadi tidak terasa begitu dingin. Semalam, aku menginap di rumah kakek. Kemacetan rutin di sepanjang jalanan Batu – Malang pada setiap penghujung minggu membuatku sangat tidak bergairah untuk berkendara pulang. 

Ini hari Senin. Hari di mana sebagian orang membencinya atau bahkan tidak menginginkannya. Hari di mana beberapa waktu yang lalu, aku pun begitu membencinya. Namun, untuk kali pertama pada hari Senin seperti ini, aku akan pergi ke pantai bersama sahabat sekaligus kakak iparku, Sarah. Rumah Sarah berada tidak jauh dari rumahku. Hanya berjarak beberapa blok saja.

Jalanan pagi ini tampak tidak begitu ramai dan cukup lengang. Tidak banyak yang berlalu lalang. Aku memarkirkan mobil tepat di depan sebuah rumah bergaya joglo modern yang minimalis. Aku masih bingung menyebut model rumah ini sampai sekarang. Mas Aryo dan Sarah terbilang unik soal memilih perabot dan gaya rumah yang mereka inginkan. Karena hal itu, rumah mereka jadi terlihat cukup membingungkan dan memaksakan kehendak. Perpaduan antara interior khas Jawa yang kental, tetapi juga ada sentuhan modern minimalis. Ada juga yang klasik, bahkan shabby chic di beberapa sudut ruangan. 

Sebentar kemudian, Sarah terlihat sedang berlari keluar dan menyambutku dengan sangat ramah, juga manja.

“Jingga!” serunya seraya mendekapku yang masih terikat sabuk pengaman di bangku kemudi.

“Iya, sudah. Aku juga rindu,” ucapku seraya melepaskan dekapan eratnya.

“Sambutan yang dingin,” keluhnya seraya melengos.

Aku sekilas mengamati penampilan Sarah. Rok motif bunga-bunga mekar berwarna jambon, senada dengan warna bibirnya. Tubuh mungil itu seperti tenggelam di antara bunga-bunga yang sedang bermekaran. Aku mendadak tersenyum samar. Aku tiba-tiba memikirkan alasan seorang Sarah yang lemah lembut perangainya, halus tutur katanya bisa bersahabat denganku selama hampir sembilan belas tahun. Aku sering berpikir tentang apa yang membuatnya mampu bertahan menghadapi sikapku yang masih suka semaunya sendiri ini. Ucapan terima kasih saja rasanya tidak cukup untuk membayar kebaikannya kepadaku. Kabar baiknya, dia tidak butuh ucapan terima kasih itu.

Mobil melesat dengan cepat dan segera berhambur keluar dari suasana hiruk pikuk kota.

“Bagaimana perkembangan rencana soal bisnis?” Sarah membuka pembicaraan.

“Masih cuti. Bisa dilanjutkan nanti waktu mode bebasku selesai.”

“Semoga akan jadi hal yang menyenangkan. Setelah semua keluh kesahmu beberapa tahun belakangan ini, aku yakin hal baik bakal terjadi,” ucap Sarah dengan mulut yang penuh dengan cokelat.

“Aamiin.” Aku menjawab dengan anggukan seraya tersenyum.

“Semoga juga segera menemukan dia sang pujaan hati,” ucap Sarah lagi setelah cokelat di mulutnya tertelan habis. Dia tampak membuka bungkus keripik kentang. Padahal, perjalanan belum genap setengah jam.

“Jangan bahas soal itu dulu.”

Perbincangan kami berkutat seputar masalah pekerjaan dan pasangan. Dia bercerita tentang rutinitas mualnya setiap pagi. Ternyata membawa ibu hamil yang masih dalam fase kehamilan trimester pertama bukanlah perkara yang mudah. Dia membuat peraturan-peraturan kecil yang memaksaku untuk lebih banyak bersabar. Apalagi saat Sarah mengulang-ulang pembahasan tentang mencari pasangan. Aku masih belum begitu tertarik kalau membahas tentang hal itu untuk beberapa waktu ke depan. Sedangkan, Sarah selalu saja menggebu-gebu kalau membahas tentang hal itu. Aku hanya mengangguk dan sedikit menarik kedua ujung bibirku ke atas untuk menunjukkan kalau aku mendengarkannya. Padahal, tidak.

Lihat selengkapnya