Macet adalah keadaan yang membuat kebanyakan orang tidak nyaman. Bunyi klakson dari kendaraan yang tidak mengenal arti sabar membuat bising di sepanjang jalanan kota. Akhir minggu, hari di mana jalanan Malang dipadati pendatang dari luar kota untuk bertamasya. Ada juga sebagian dari mereka yang sedang pulang kampung. Kebanyakan dari mereka berasal dari kota tetangga seperti Surabaya dan Sidoarjo. Kota Batu adalah alasan utama untuk menarik pendatang selama akhir minggu berlangsung. Jalan utama Surabaya-Malang yang dulunya lengang, sekarang hanya menjadi sebuah kenangan. Malang-ku sudah tak seperti yang dulu.
Dulu, berkendara dari kabupaten ke kota yang jaraknya sekitar delapan sampai sepuluh kilometer membutuhkan waktu yang tidak lebih dari setengah jam. Sekarang, aku harus berkendara selama lebih dari satu jam untuk tiba di kota. Lain hal kalau aku berkendara menggunakan motor. Biasanya memang lebih cepat. Namun, tetap tidak secepat yang dulu.
Hari ini, aku berkendara dengan motor kesayanganku. Si matic ramping berwarna merah. Selain lebih irit bensin, juga lebih efisien untuk menerobos kemacetan lantaran lebih mempersingkat waktu. Tujuanku hari ini adalah membeli beberapa buku. Hanya lantaran sedang ingin berjalan kaki, aku sengaja memarkir motor agak jauh dari toko buku di tempat parkir dekat alun-alun kota.
Aku berjalan menembus keramaian alun-alun. Hiruk pikuk pendatang dan muda mudi di sekitar alun-alun turut menyumbang kebisingan siang ini. Tempat ini tidak pernah sepi pengunjung. Tampak beberapa pasangan sudah menempati deretan bangku yang berjajar rapi di tepi jalan setapak. Terdapat area bermain yang juga sudah dipenuhi dengan anak-anak dan orang tua mereka. Tidak sedikit pula kelompok-kelompok kecil orang yang sibuk berswafoto.
Toko buku terletak tidak jauh dari alun-alun. Cukup lima menit berjalan kaki, aku sudah berhasil sampai di pintu masuknya. Di lantai pertama toko buku ini terdapat stasionary atau perlengkapan sekolah. Ada pula sudut rak yang menyediakan peralatan olahraga juga peralatan kantor.
Aku berjalan menuju eskalator untuk mencapai lantai dua toko ini. Tidak banyak orang yang berlalu lalang. Tenang, pikirku. Langkahku berhenti di rak novel terjemahan. Aku menyapu deretan buku dengan jemari satu persatu. Tidak satu pun judul yang berhasil menarik hati. Aku melanjutkan perburuanku di rak buku psikologi dan rak-rak selanjutnya. Mataku tertuju pada beberapa buku motivasi dan beberapa buku bisnis. Sesuai dengan niat awal datang kemari. Membeli lebih banyak buku bisnis.
Bagian depan toko buku ini terdapat jendela lebar dengan pemandangan jalanan kota. Hanya saja, rak-rak tinggi buku fiksi menjadi penghalang pemandangan itu. Selagi aku mengamati deretan koleksi novel fiksi, tanganku menjadi sangat gemetar. Sudah hampir pukul dua siang. Pantas saja, aku tiba-tiba menjadi linglung. Aku harus segera menyantap makanan atau sekadar kudapan. Setelah membayar buku-buku ke kasir, aku segera melangkah keluar toko. Kemudian, berjalan ke seberang. Masuk ke dalam restoran cepat saji yang menghidangkan menu ayam goreng legendaris.
***
“Jingga!” seruan seseorang yang sangat bersemangat cukup berhasil membuat beberapa orang menoleh ke arahnya, termasuk aku.
Aku menghela desah saat mendapati sesosok wajah yang tak asing. Seorang yang sama sekali tidak kuharapkan bertemu pada siang hari yang garang ini. Seorang pria jangkung berbadan besar, berwarna kulit sawo matang dengan celana skinny jeans berwarna navy favorit yang sering dikenakannya sedang berdiri tepat di hadapanku.
Aduh! Randy. Dia adalah seorang teman lama. Teman satu fakultas sekaligus teman sekelas waktu kuliah dulu. Dia adalah satu-satunya orang yang selalu membuat masalah dalam hidupku. Peristiwa kecil seperti melumuri pensil dengan lem hingga peristiwa seperti memasukkan beberapa ekor katak ke dalam tasku, adalah rentetan keisengannya yang selalu berhasil membuat suasana hatiku kacau.
Aku pernah berdoa supaya tidak dipertemukan dengan Randy lagi setelah lulus kuliah. Namun, takdir berhasil menggiringku kepada banyak peristiwa yang membuat kami selalu bertemu. Kami pernah tidak sengaja bertemu di beberapa seminar bisnis. Kami juga sering bertemu di swalayan. Bahkan, di kedai jus buah yang berada di depan komplek perumahanku. Siang ini, kami tidak sengaja bertemu di sebuah tempat makan untuk yang kesekian kalinya. Wajahnya yang tengil itu selalu berhasil membuatku hilang selera.
“Lagi apa di sini?” tanyaku spontan. Aku lalu menyadari kalau pertanyaan itu sangatlah bodoh.
“Menurutmu? Ya makan, lah.”
Benar, pertanyaan bodoh. Aku berusaha tersenyum, walaupun sedikit masam. Bagaimana pun caranya, aku harus berhasil keluar dari tempat ini sebelum Randy membuat onar selera makanku.
“Wah! Kebetulan sekali kita ketemu di sini.”
Tidak. Aku harus keluar. Aku yakin dia akan bercerita tentang deretan kesuksesan karirnya, keberhasilannya menjalankan bisnis dan sederet orasi kesombongannya. Belum lagi rencana keisengan apa yang akan dibuatnya untuk mengerjaiku.
“Ah! aku lupa. Aku harus–”
Randy menarik tanganku dan memaksaku untuk mengikuti langkahnya. Dengan raut muka menahan sebal, aku menurut saja ke mana langkah kakinya melaju. Aku jadi seperti seorang kekasih yang sedang merajuk. Ah! Selalu saja seperti ini.
Randy segera mengambil posisi di barisan yang paling sedikit orang, sebelah kanan. Genggamannya terlalu kuat di pergelangan tanganku. Membuatku sangat tidak nyaman. Aku memutar pergelangan tangan dengan sekuat tenaga hingga akhirnya berhasil lepas.