Ayahku bertubuh tinggi besar dan berkulit terang. Penampilannya modern dan rapi. Celana jin panjang dan kaus polo adalah setelan andalan Ayah. Rambutnya lurus sedikit beruban dengan belahan samping. Mempunyai mata lebar yang dengan sendirinya selalu menatap tajam tanpa ia sadari. Misai tebalnya selalu membuat ciut nyali teman-temanku, termasuk Sarah. Padahal, Sarah sudah mengenal Ayah hampir sembilan belas tahun lamanya. Bahkan, sekarang statusnya sudah menjadi menantu kesayangan. Lebih tepatnya, anak perempuan kesayangan. Daripada aku yang anak kandungnya sendiri. Aku tidak peduli. Aku tahu alasan Ayah bersikap seperti itu karena semua ekspektasi perihal seorang anak perempuan yang baik terdapat pada diri seorang Sarah.
Menyiram taman adalah rutinitas Ayah setiap pagi setelah pensiun lima bulan lalu dari perusahaan swasta. Setelah itu, dilanjutkan dengan berjalan santai keliling komplek. Ayah tidak suka kopi dan lebih suka air putih. Mungkin terdengar sederhana dan biasa saja. Sebenarnya, Ayah selalu meributkan hal-hal remeh. Seperti teh yang terlalu manis, tanaman yang tidak sengaja tersenggol, atau lupa menutup pintu garasi, dan masih banyak lagi hal-hal kecil yang selalu dibesar-besarkan. Apalagi hal-hal besar, Ayah akan memperdebatkan masalah itu hingga lawan bicaranya mengaku kalah.
Semua orang selalu kalah berdebat dengan Ayah kecuali aku. Kakek pun tidak jarang mengalah saat berdebat dengan Ayah. Apalagi Mas Aryo. Kakakku ini wataknya memang berbanding seratus delapan puluh derajat dengan watakku. Dia selalu menuruti hampir semua yang Ayah katakan. Hanya Mama satu-satunya orang yang hampir tidak pernah berdebat dengan Ayah. Mama selalu berhasil membuat Ayah diam seribu bahasa sebelum memulai perdebatan. Menurutku, Mama adalah sumber air di tengah padang pasirnya Ayah. Sedangkan, aku adalah satu-satunya anak perempuan yang lebih sering tidak mau mengalah kalau Ayah mempermasalahkan sesuatu yang di luar jalurku.
Suasana hati Ayah tampaknya sedang tidak baik pagi ini. Selepas subuh hingga pukul delapan pagi, Ayah hanya berkutat dengan ponselnya. Bahkan, Ayah tidak melakukan rutinitas paginya. Aku tidak berani mendekat atau berpapasan. Mengingat hubunganku dengan Ayah yang masih kurang baik belakangan ini. Kalau suasana hatinya sedang tidak baik begini, pasti ada saja yang diperdebatakan. Termasuk, masalah-masalah yang telah lalu. Aku malas kalau Ayah mengungkit-ungkit masalah pekerjaanku lagi.
Selagi aku berputar arah dan berniat kembali ke kamar untuk menghindari ruang makan. Ayah malah memanggilku. Firasatku buruk.
“Jingga!” seru Ayah dari balik dinding ruang makan.
Aduh! Aku memutar badan dan melangkah menghampirinya.
“Dalem,” jawabku saat kami sudah saling duduk berhadapan.
“Temani Ayah sarapan,” pinta Ayah seraya menyodorkan piring kosong kepadaku. Tidak biasanya. Aku pasti akan mendapatkan ceramah panjang pagi hari, bukan lagi kultum.
“Ada yang ingin Ayah bicarakan?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Apa rencanamu setelah ini?”
“Bisnis,” jawabku mantap.
“Iya, tahu. Maksudnya mau bisnis apa?” tanya Ayah setelah menyesap teh panas.
Aku terdiam sejenak. Ragu untuk menyampaikan semua rencanaku. “Melanjutkan bisnisku yang kemarin sempat berhenti karena pekerjaan kantor.”
“Mau jualan baju lagi?”
Aku mengangguk samar seraya mengetuk jemari di atas lutut. Ayah tampak menuangkan air putih ke dalam gelas kosong yang berada di sebelah cangkir teh.