Mamaku adalah seorang penjahit. Mama juga sempat memiliki lima orang karyawan yang bisa membantunya mengatasi lonjakan pesanan. Apalagi saat musim lebaran tiba. Mama harus memangkas waktu istirahat malam lantaran saking berlimpahnya pesanan. Bahkan, pernah sama sekali tidak tidur pada malam lebaran. Selagi sebagian orang bersuka cita menyambut datangnya hari kemenangan, Mama malah tidak tidur hingga malam berganti pagi demi merampungkan semua pesanan. Semua itu dilakukan untuk menambah penghasilan demi membantu Ayah melunasi hutang dan menyambung hidup.
Dulu, Ayah gemar berhutang ke bank. Ada belasan kartu kredit yang menghiasi saku dompetnya. Jangan dikira semakin banyak kartu kredit bisa semakin damai menjalani hidup. Mustahil. Gaji yang diperoleh Ayah setiap bulan selalu habis bahkan kurang untuk membayar angsuran hutang. Sehari bisa makan saja sudah bersyukur. Uang hasil hutang itu juga tidak jelas pengelolaannya.
Ayah hanya mementingkan gaya hidupnya sendiri. Semua uang hasil hutang dari bank dibelanjakan untuk membeli barang-barang mewah. Biaya sekolahku dan Mas Aryo saja kerap kali lupa terbayar. Kakek yang selalu melunasi biaya sekolah kami. Penghasilan Mama dari pesanan jahitan sebenarnya bisa dibilang cukup untuk menutup semua kebutuhan hidup setiap bulan. Hanya saja, Ayah semakin menggila dengan nafsu gaya hidupnya yang megah. Memang benar, kami bisa menikmati mobil keluaran terbaru, atau tinggal di rumah besar dengan segala fasilitas. Namun, kami tidak pernah merasakan ketenangan. Bisa dibilang tidak pernah merasa bahagia. Lantaran selalu dihantui jatuh tempo yang selalu berhasil membuat Ayah naik pitam.
Setiap akhir bulan, Ayah selalu uring-uringan, sebab penghasilan yang diperoleh dari gaji dan penghasilan Mama dari pesanan jahitan tidak cukup untuk membayar hutang. Keadaan ini berlangsung dari aku dan Mas Aryo masih SD. Hingga pada suatu hari, rumah kami disita oleh bank. Kejadian itu terjadi sekitar enam tahun lalu. Sejak saat itu, aku semakin membenci Ayah. Aku tidak mau dan tidak akan pernah menjadi seperti dia. Bahkan, aku rasanya tidak ingin menjadi anaknya.
Semua barang-barang mewah milik Ayah habis terjual untuk menutup hutang. Tiga rumah yang dibeli Ayah dengan uang hasil hutang juga dijual. Sisa dari uang penjualan tiga rumah itu digunakan untuk membeli rumah yang lebih kecil dan murah. Walaupun sudah menjual hampir semua barang-barang yang ada, tetapi belum cukup untuk melunasi semua hutang Ayah. Aku ingat betul, Mas Aryo baru saja lulus kuliah kala itu. Kabar baiknya, dia langsung mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan otomotif yang berada di Bekasi. Dia selalu mengirim uang untuk kebutuhan keluarga dan tambahan biaya kuliahku setiap bulan.
Sejak saat itu pula, aku mulai mengenal dunia bisnis. Aku menjual cindera mata acara pernikahan bersama seorang teman sekelas, juga Sarah. Kami berkeliling dari satu pintu ke pintu lainnya, dari komplek satu ke komplek sebelahnya demi mendapatkan pelanggan. Pahit sekali rasanya saat menerima kenyataan kalau berbisnis itu tidak semudah yang aku bayangkan. Sebab tidak menunjukkan peningkatan, kami memutuskan untuk berhenti. Aku memang belum memahami seluk beluk dan strategi tentang mengembangkan bisnis kala itu. Aku hanya berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang dengan cepat untuk tambahan biaya kuliah.