Sebuah buket besar mawar jingga dengan pita berwarna cokelat keemasan tergeletak di atas meja kerjaku siang ini. Ada sepucuk surat terbungkus amplop berwarna jingga terang. Tertulis nama pengirimnya di sisi kanan bawah bagian depan amplop. Ardian. Sontak dadaku terasa panas. Aliran darah berlari begitu cepat menuju ubun-ubun.
___________________________________________________________________________
Dear Jingga,
Selamat! Kamu sudah kembali ke pekerjaan yang selama ini kamu idam-idamkan. Aku ikut senang. Buket bunga ini untuk ucapan selamat. Untuk apa pun yang akan kamu lalui dan untuk siapa pun yang akan kamu temukan. Semoga kamu selalu bahagia.
Ardian
___________________________________________________________________________
Aku mengamati buket ini. Masih sangat segar dan mekar dengan sempurna. Baunya juga masih harum. Aku menghela desah seraya meletakkan buket itu di atas meja. Mengapa pria ini baru menampakkan batang hidungnya sekarang? Saat semua hal baik tentangnya berubah menjadi kenangan kelam yang penuh duri tajam seperti batang mawar.
Ardian adalah sebuah nama yang selalu kuhindari saat beberapa orang mulai membahasnya. Aku sudah tidak peduli tentang apa pun yang berhubungan dengan dia. Selain tidak peduli, membahas tentang pria itu hanya akan membuang waktuku yang sangat berharga. Dia hanya segurat kenangan masa lalu yang harus dilenyapkan dari laci-laci penyimpanan memori otakku.
Enam bulan lalu, Ardian tiba-tiba menghilang tanpa kabar yang jelas. Kami tidak sedang bertengkar. Hubungan kami baik-baik saja. Aku berusaha mencari informasi ke semua teman yang saling mengenal kami, termasuk Randy. Namun, aku tidak mendapatkan informasi yang akurat. Aku benar-benar marah kala itu. Satu tahun memang bukan waktu yang lama untuk saling mengenal, tapi sudah lebih dari cukup. Sebab, aku tidak ada waktu untuk menjalin hubungan yang main-main. Dengan kami bertunangan, aku percaya kalau dia akan serius memegang komitmen dan menjalin hubungan denganku hingga ke jenjang pernikahan. Namun, takdir berkata lain. Dia menghilang.
Satu bulan setelah Ardian menghilang. Aku berusaha tidak mempedulikan keberadaannya lagi. Aku berusaha tidak mau tahu tentang apa pun yang dia lakukan di luar sana. Aku juga menutup semua aksesnya. Hingga pada suatu waktu, saat aku sedang dalam perjalanan pulang dari resepsi seorang teman bersama Sarah dan Mas Aryo, kudapati Ardian yang tengah mengunggah foto bersama seorang wanita yang tak asing. Aku segera menunjukkan foto itu kepada Sarah. Dia mungkin saja mengingat raut wajah si wanita yang ada di dalam foto.
Sarah memperhatikan foto itu. “Dia sepupunya Randy, kan?”
Aku berusaha mengingat-ingat. “Ah! Iya.”
Aku sering bertemu dengan wanita itu saat Randy mengajaknya ke beberapa acara resepsi teman-teman kuliah.
“Wah, keterlaluan!” hardik Sarah dengan dahi berkerut.
“Dia harus beri penjelasan,” sela Mas Aryo.
Aku berdecak. “Aku enggak mau ketemu sama dia lagi.”