Sekitar tiga puluh menit berselang. Sarah datang dengan menenteng beberapa tas plastik besar.
Dahiku berkerut. “Eh! Ibu hamil kok bawa barang-barang berat begini. Apa sih isi tas ini?” Aku mengintip isi tas plastik besar itu. Terdapat banyak tumpukan contoh kain dan empat kotak brownies. “Lain kali jangan dibawa sendiri. Jaga kandunganmu. Mas Aryo enggak bisa antar?”
“Mas Aryo ada rapat sama klien yang mau foto pre-wedding besok pagi. Aku ke sini naik taksi online.”
“Kenapa enggak minta jemput? Aku bisa jemput.”
“Dari sembilan belas tahun kita berteman, baru sekarang kamu seperhatian itu.”
“Dih! PD banget. Ini semua demi keponakan. Gerakanmu itu seenteng badanmu. Mungil, enteng kayak kutu loncat. Ayah kok bangga banget punya menantu pecicilan kayak begini. Padahal, suara aja yang lemah lembut.” Aku tergelak puas saat melihat Sarah yang cemberut.
“Adik ipar macam apa kamu ini.”
“Ngomong-ngomong, kenapa harus buru-buru datang? Apa ada hal penting?”
“Penting banget! Sudah menerima buket bunga dari Ardian?”
Aku mengangguk seraya menyodorkan kartu ucapan. Sarah tampak tersenyum setelah membaca kartu ucapan itu.
Pandanganku menyipit. “Dari mana kamu tahu kalau aku baru dapat buket bunga? Apa maksud senyumanmu itu?”
“Dia sendiri yang bilang kalau mau kirim buket bunga buat ucapan selamat. Aku enggak sengaja ketemu Ardian di swalayan.”
“Kapan?”
“Baru aja. Mumpung ada kesempatan, aku ajak aja dia ngobrol di warung bakso yang ada di sebelah swalayan itu. Dia menjelaskan semuanya.”
Aku mendengus kesal. “Basi banget ngomong penjelasan sekarang. Apa gunanya?”
“Berguna banget, dong. Masalah yang belum kelar itu harus diselesaikan. Kayaknya, pesan Ardian enggak sampai ke tanganmu.”
Aku mengernyitkan dahi. “Pesan apa?”
“Dia memberimu sebuket mawar, kan? Sehari sebelum dia pergi.”
“Oh. Mawar sintetis itu?”
“Di mana bunga itu sekarang? Atau sudah kamu buang?”