Guratan Jingga

Claudia Lazuardy
Chapter #9

KLIEN YANG TAK TERDUGA

Hujan. Kebanyakan orang lebih memilih untuk mengurung diri di dalam rumah dengan berbagai macam alasan kenyamanan dan kemalasan. Alih-alih bergolek lemas dengan sederet pilihan film dan setoples keripik atau semangkuk mi kuah pedas yang menggiurkan, aku malah menerjang hujan. Demi memperoleh rupiah dengan mengantar beberapa pesanan baju ke kantor ekspedisi dan rumah pelanggan. Jalanan tampak tergenang sebagian. Menutup beberapa lubang yang membuat pengendara harus lebih waspada untuk melintasi jalan. Kesegaran udara sore ini merasuk hingga ke dalam rongga dada. Bahagia rasanya.

Rinai hujan masih mengguyur hingga malam hari. Padahal, musim penghujan sudah jauh melewati puncaknya. Tampaknya, sang hujan masih enggan pergi meninggalkan kota ini. Langit sedang menghabiskan kumulonimbus supaya tidak mengganggu musim kemarau yang sudah di ambang pintu. Biasanya, di musim pancaroba seperti ini keadaan cuaca jadi tak menentu. Angin dingin sering berembus dengan hebat. Banyak orang yang jatuh sakit karena daya tahan tubuh mereka juga jadi tak menentu. 

Aku sedang duduk dan menyilangkan tangan di meja panjang yang terletak di tengah ruang kerjaku. Selain menambahkan jadwal untuk berlari pagi demi meningkatkan imunitas tubuh. Aku juga sedang mengamati beberapa kertas bon dan layar laptop yang berisi tentang neraca dan bisnis model. Aku tengah menelaah penyebab beberapa barang yang tidak terjual. Entah karena harganya yang tidak sesuai target, atau modelnya yang tidak disukai beberapa orang. Atau mungkin, iklan yang tersebar di beberapa media sosial kurang menarik hati calon pembeli. Aku harus menemukan masalah yang terjadi, supaya aku bisa mencari solusi. Selain itu, aku dan Sarah harus bersikeras mencapai target yang sudah terancang pada bulan depan.

Secangkir teh lemon panas melengkapi rasa bahagiaku malam ini. Grafik penjualan bulan ini menunjukkan sedikit peningkatan. Persentase yang sangat berarti di fase-fase pembangunan fondasi bisnis. Fondasi yang entah akan menjadi rumah seperti apa nantinya, yang penting harus menjadi rumah yang kuat. Sarah selalu mengingatkanku untuk tidak memikirkan tentang pembuktian. Aku malah merasa pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. Aku membutuhkan pembuktian untuk membungkam mulut-mulut mereka yang sudah menghinaku. Mereka harus membayar perbuatannya. Aku yang akan membungkam mulut lentur mereka dengan tanganku sendiri.

***

Pukul sembilan pagi di teras belakang rumah, aku menyandarkan kepala di atas lengan yang terlipat di balik tengkuk. Aku menekuri hamparan taman mawar jingga yang masih berbunga. Suara angin sayup terdengar timbul tenggelam bergantian dengan suara Ayah dan Mas Aryo, yang sedang berdebat mengenai hasil pertandingan sepak bola kemarin malam di meja dapur. Agaknya, mereka baru saja datang dari acara jalan pagi. 

Mataku tertuju pada beberapa bunga mawar yang tumbuh paling tinggi. Aku harus mengakui realita, kalau taman ini memang selalu cantik dalam berbagai kondisi dan cuaca. Sekalipun tidak berbunga, bentangan daun berwarna hijau yang cukup rimbun menjadi keunikan tersendiri. Namun, aku sudah berencana untuk mengganti taman mawar ini dengan hamparan rumput hijau. Supaya bayangan Ardian tidak lagi menjelajahi rumah ini, apalagi menjelajahi benakku dengan seenaknya.

Mas Aryo melongok dari pintu dapur. “Hei,” sapanya.

Aku menoleh. “Hei, duduk sini,” pintaku seraya menepuk ujung kursi yang ada di sebelah kiriku. “Kok sendirian?”

“Sarah kedatangan kakaknya. Aku datang karena sudah janji menemani Ayah jalan pagi.” Mas Aryo duduk di samping kiriku, kemudian bersandar.

“Ada yang lagi ganggu pikiranmu?” tanya Mas Aryo tanpa memandangku.

“Aku mau ganti taman mawar itu jadi taman rumput hijau. Bagaimana menurutmu, Mas?”

“Lebih rapi, tapi enggak lagi cantik kayak begini.”

Aku berdecak. “Mas Aryo juga berpendapat taman ini cantik? Mama enggak setuju sama rencanaku, karena taman ini terlalu cantik buat dimusnahkan.”

“Kita pindahin aja ke taman belakang rumahku.”

“Pasti ini usulnya Sarah.”

Mas Aryo mengangguk. “Diganti aja sama bunga lain. Taman bunga kan enggak mesti mawar. Atau tetap mawar, tapi ganti warna.”

Lihat selengkapnya