Siang ini, aku masih berkutat dengan gulungan kain dan catatan pembelian yang harus segera direkap dengan tertib. Dari awal memulai bisnis, aku dan Sarah berusaha untuk tidak menunda membuat laporan harian. Namun realitanya, aku yang kebagian membuat laporan harian selalu telat sehari bahkan seminggu. Sebab aku tidak bisa membuat laporan keuangan dengan rapi. Hal ini yang membuat Sarah jadi gemar mengomel. Ini bukan perihal aku yang tidak dapat membedakan antara kredit dan debit atau antara passiva dan aktiva. Aku bisa dan aku paham. Hanya saja, aku tidak menyukai bidang itu. Alasan itu yang membuatku begitu malas untuk merampungkan semua laporan pada penghujung hari.
Pukul setengah dua siang. Aku beranjak dari kursi, lalu mengambil peralatan untuk membuat pola baju yang baru aku gambar tadi malam. Langkahku terhenti saat tidak sengaja menoleh ke arah kalender duduk yang ada di pojok meja kerja. Entah apa yang aku pikirkan, mataku tiba-tiba fokus dengan satu tanggal merah pada hari Kamis. Refleks, aku melingkari hari Kamis hingga Minggu. Membuat catatan di bawah hari-hari itu dengan tulisan: rehat.
Aku terdiam sejenak. Menimbang-nimbang beberapa opsi destinasi wisata yang dengan cepat berderet di dalam benak. Yogyakarta adalah pilihan paling logis. Mengingat aku masih tidak bisa berpakansi ke luar pulau karena pekerjaan yang mulai padat. Tanpa berpikir panjang, aku segera memesan saja penginapan dan tiket kereta untuk pergi pada hari Jumat. Aku juga menelepon seorang kenalan untuk keperluan sewa kendaraan. Urusan tiket pulang bisa diatur belakangan.
Sarah datang dengan wajah cerianya membawa tiga kotak makan yang entah apa isinya.
“Aku mau ke Jogja minggu depan,” kataku sebelum dia menjelaskan maksud kedatangannya dengan membawa kotak-kotak makan itu.
“Mau ngapain ke sana?” tanya Sarah menyelisik. Raut wajahnya berubah jadi serius.
“Aku butuh menghela napas.”
“Sendirian?”
“Iya, seperti biasa.”
“Lalu, toko kita? Ditinggal begitu aja?”
Aku terdiam sejenak seraya menggigit ujung bibir. “Cuma tiga hari. Boleh, ya?”
Seraya mendesah samar, Sarah meletakkan kotak-kotak makan itu di atas meja. Dia lalu mengambil tas jinjingnya yang tergantung di ujung kursi yang sedang kududuki. “Ingat, kamu harus fokus. Biar bisa sukses. Liburan kan bisa di sekitaran Malang dulu.”
Aku sengaja menampakkan wajah memelas. Sedangkan, Sarah berdecak sebelum terkekeh.
“Oke, untuk kali ini aja.”
“Terima kasih! Kamu kan tahu sendiri, aku ini enggak bisa tahan kalau harus berkutat di satu tempat aja.”
Sarah mengangguk. “Aku pulang dulu. Sejam lagi ada jadwal ke dokter kandungan,” ucap Sarah seraya memelukku singkat lalu melenggang pergi.
Tanpa menjawab, aku beranjak dari kursi dan melihat isi kotak makan yang tadi dibawa Sarah. Puding cokelat. Aku segera membagikan puding itu ke para karyawan yang sedang sibuk menjahit. Entah merasa bersalah atau bagaimana. Setelah melihat raut wajah Sarah, aku merasa keputusanku berpakansi ke Yogyakarta adalah keputusan yang salah. Namun, aku tetap tidak bisa membatalkan kepergianku ini. Selain aku sudah memesan semua keperluan termasuk kendaraan dan penginapan, aku juga sangat membutuhkan udara segar untuk menghela napas. Aku rasa Yogyakarta adalah tempat yang paling tepat untuk melepas penat sementara ini.