Stasiun Malang Kota Baru sangat riuh dipadati oleh calon penumpang. Beberapa pemuda dengan membawa tas ransel besar di punggung terlihat sedang sibuk berdiskusi di dekat pintu masuk. Masih ada banyak orang yang berlalu lalang di dalam ruang tunggu. Ada juga kelompok-kelompok kecil yang sedang duduk, entah sedang menunggu antrean atau menunggu waktu keberangkatan.
Pukul setengah delapan pagi, antrean di mesin check in mandiri tiket online malah tampak tidak begitu ramai. Hanya seorang pria paruh baya yang berpakaian necis menenteng tas laptop, dan dua orang gadis berkerudung cerah sedang membawa koper kecil di tangan kanan mereka. Di depanku ada seorang wanita lanjut usia dengan model rambut mengembang sempurna ala era 1970-an yang sedang asyik memainkan ponsel pintarnya.
Setelah mencetak boarding pass, aku segera melangkah ke konter check in. Keadaan di dalam stasiun ternyata jauh lebih riuh. Aku mencari bangku kosong dan menemukan agak jauh dari keramaian orang. Aku memasang earphone, lalu duduk bersandar seraya menunggu kedatangan kereta Malioboro Express.
Pukul delapan lewat dua puluh menit, kereta yang aku tumpangi sudah siap berangkat. Aku duduk di bangku nomor tiga dari depan tepat samping jendela. Memasang earphone dan masker untuk menutupi wajah. Menyetel ulang tempat duduk, lalu bersandar dengan nyaman. Aku suka suasana saat bepergian. Entah itu naik transportasi umum atau naik kendaraan pribadi. Suasana nyaman malah sering aku dapatkan saat sedang di jalan. Seperti ada harapan atau motivasi baru yang timbul dengan sendirinya. Membuatku jauh lebih bersemangat dari sebelumnya. Ibarat ponsel yang membutuhkan listrik untuk mengisi ulang daya. Ponsel dan listrik dihubungkan oleh sebuah pengisi daya. Seperti aku yang selalu membutuhkan destinasi untuk mengisi ulang semangatku. Transportasi adalah alat yang menghubungkanku dengan destinasi itu.
Bangku di sebelahku kosong. Entah memang kosong atau nanti si calon penumpang akan naik di stasiun selanjutnya. Lebih tepatnya, aku tidak peduli. Mungkin lebih baik kosong. Teringat perjalananku beberapa bulan lalu ke Banyuwangi. Aku duduk dengan seorang gadis remaja tengil dengan deretan cerita masa ABG(2)-nya yang sangat anarki. Bahkan, durasi ceritanya jauh lebih panjang dari kereta yang kami tumpangi. Lantaran tidak tega menyela, aku akhirnya mengorbankan jatah tidur setengah malamku di kereta. Aku jadi menghabiskan lebih banyak waktu tidur di penginapan dan melewatkan beberapa destinasi pada keesokan harinya.
“Permisi,” ucap seorang pria berbadan jangkung dan agak kurus.
Aku segera merapikan beberapa barang di bangku sebelah yang kukira kosong.
“Bukunya jatuh,” ucap pria itu lagi seraya menyodorkan buku.
Dia lalu duduk di sebelahku seraya mengeluarkan ponselnya dari tas selempang kecil. Kulitnya sangat terang lebih ke pucat. Dipenuhi bulu-bulu halus di sepanjang lengan. Terkadang, aku iri melihat kulit yang seterang itu. Sejak aku gemar berpakansi ke pulau-pulau terpencil, warna kulitku jadi dihiasi belang dan tak seterang yang dulu. Kuning langsat yang berubah menjadi sawo matang. Apalagi di bagian pergelangan tangan yang warna belangnya sudah mirip seperti garis pembatas jalan raya. Namun, peduli setan. Sawo yang semakin matang akan jauh lebih manis.
Aku mengernyit saat pria itu membuka masker. Aku pun membuka masker dan menyapanya. “Edgar?”
Dia menoleh ke arahku saat beringsut dan sontak tersenyum kaget. “Eh, Jingga! Enggak disangka kita bisa ketemu di sini.”
Memang tidak disangka. Edgar adalah teman sekolah saat di SMA dulu. Kami tidak pernah sekelas karena memang beda jurusan. Aku terlihat akrab menyapanya karena kami sering berkirim pesan dan komentar di media sosial empat bulan belakangan ini. Jadi, seperti bertemu teman dekat yang telah lama tak berjumpa. Tetapi selama empat bulan ini, kami tidak berbincang setiap hari. Ada kalanya dia mengomentari status atau foto yang aku unggah, begitu pula sebaliknya. Terkadang juga tidak. Padahal dulu waktu SMA kami jarang bertegur sapa, bahkan hampir tidak pernah.
“Aku kira bangku ini kosong,” ucapku.