Aku tidak bisa menghentikan bayangan raut wajah Edgar yang dengan seenaknya berlari-lari di dalam benak. Tanpa aku sadari, membayangkan wajahnya jadi membuatku terlampau senang dan berakhir dengan kegiatan senyum-senyum sendiri. Baru beberapa jam bertemu sudah seperti ini rasanya. Kali terakhir aku merasa seperti ini sekitar dua tahun lalu, saat Ardian memberanikan diri untuk mengajakku pergi ke pantai.
Aku lantas beranjak dari kursi saat merasa tanggapanku terlalu berlebihan. Membiarkan logikaku yang mengambil alih setelah beberapa nyaris keluar jalur. Aku berusaha sebisa mungkin untuk membuang bayangan pria itu. Namun, tetap tidak bisa. Pertemuan pertama yang terlalu melekat. Pemandangan sore Yogyakarta juga tidak bisa mengalihkan bayangannya dari benakku. Padahal, pemandangan kota ini dari lantai enam kamar hotel juga cukup menarik. Seharusnya bisa mendistraksi pikiranku barang sejenak.
Pukul enam lewat tiga puluh menit. Aku duduk di kursi seraya menghadap jendela. Berusaha menikmati pemandangan lampu dan hiruk pikuk jalanan kota yang dipenuhi dengan beberapa delman berlalu lalang. Namun, tidak berhasil. Bayangan Edgar tetap tidak bisa hilang. Apalagi saat jarum jam semakin mendekati pukul tujuh. Rasanya semua aliran darahku berlarian menuju ke organ tubuh yang berada di dada agak ke kiri itu. Membuat kerja organ itu menjadi lebih cepat dari biasanya. Apalagi degupan suaranya terasa lebih keras dari petasan tahun baru. Aku harus bertindak. Kekonyolan ini tidak akan kubiarkan mengambil alih kendali kewarasanku.
Aku sontak tersentak saat dering ponsel menembus suasana hening bercampur gugup malam ini. Aku tahu siapa yang menelepon, walaupun belum melihat layar ponsel.
“Aku sudah di lobi,” ucap suara di seberang sana yang selama tiga jam ini berhasil membuat riuh hatiku seperti sorak sorai penonton bola.
“Oke, aku turun sekarang.”
Edgar duduk di sofa panjang berwarna hijau cerah yang berada di tengah lobi. Dia menoleh ke arahku, lalu melempar senyuman saat aku tengah berdiri di sebelahnya. Aku berhasil memperhatikannya beberapa detik. Dia mengenakan kaus panjang warna biru dongker yang bagian lengannya ditarik hingga ke siku, dan dipadu dengan celana panjang berwarna khaki. Kami bertukar pandang, lalu tersenyum.
“Kita mau ke mana?” tanyaku.
“Kita jalan kaki, yuk.”
“Memangnya mau ke mana?”
“Kita jalan ke daerah Tugu. Sekalian makan di angkringan sekitar situ.”
“Oh, aku kira jalan ke mana. Kalau jalan dari sini ke Tugu sih sering.”
“Oh, iya? Lumayan jauh kan.”
“Cuma lima belas menit. Jalan kaki juga salah satu kegiatan terasyik buat menikmati kota ini.”