Hari Sabtu pagi yang begitu sejuk diiringi dengan serat-serat jingga yang mulai berserak di ufuk timur. Bagiku, Yogyakarta selalu mampu menyajikan suasana khas yang sulit diungkapkan dengan lisan maupun tulisan. Kota ini selalu berhasil menyeretku kembali merindu dan berkunjung. Jam masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Jalanan kota masih sepi dan tidak banyak kegiatan yang terlihat. Sebelum meluncur ke pantai, aku pergi ke rumah teman terlebih dulu untuk mengambil mobil yang sudah aku sewa.
Sebelum bergerak menjauhi kota, aku berhenti di salah satu swalayan untuk membeli beberapa air mineral dan biskuit. Aku hampir saja lupa menanyakan kabar pekerjaan kepada Sarah. Lekas-lekas kugapai ponsel yang ada di dalam tasku.
Suara parau Sarah terdengar seperti orang yang baru bangun tidur.
“Baru bangun?” tanyaku.
“Iya. Enggak sengaja ketiduran lagi lepas subuh.”
“Ngomong-ngomong, sori, ya. Aku jadi enggak enak ninggalin kamu sendirian. Tapi, seenggaknya hari ini bisa setengah hari dan besok libur kan.”
“Kamu memang suka tega sama kakak ipar sendiri.” Sarah terkekeh. “Lagian, tumben banget ambil liburan weekend? Aku kira kamu masih anti sama liburan weekend setelah resign.”
“Nah, itu dia masalahnya. Aku baru sadar waktu lihat jalanan penuh kemarin sore.”
“Mau ke mana hari ini?”
Aku teringat tentang pertemuanku dengan Edgar yang belum sempat kuceritakan kepada Sarah. “Ada hal yang lebih penting dari itu. Aku ketemu Edgar di kereta. Kami duduk sebelahan.”
“Edgar, siapa?”
“Edgar teman kita di SMA dulu. Edgar mantannya si Uci itu loh. Enggak ada lagi nama Edgar selain dia.”
Sarah terdiam sejenak. Agaknya, dia sedang berpikir. “Oh! Edgar anak IPS itu? Jangan bilang kalian lagi jalan-jalan bareng sekarang.”
“Besok. Kami mau ke tebing breksi atau hutan pinus dan belanja oleh-oleh, terus pulang ke Malang. Dia ke sini karena ada acara nikahan teman kampus. Kemarin, aku juga diantar sampai ke penginapan. Malamnya diajak makan di Angkringan Jabrik yang biasa kita makan itu kalau ke sini. Aku sempat salah tingkah. Semalam suntuk jadi terbayang-bayang. Konyol banget, kan?”
“Kalian kan memang sering ngobrol akhir-akhir ini. Jadi, enggak salah juga kalau langsung akrab.”
“Tapi kan cuma ngobrol santai. Enggak setiap hari juga, Sar.”
“Iya, itu sama aja. Deg-degan, enggak?”
“Lumayan.”
“Antara sudah nyaman ngobrol atau kamu tanpa sadar suka sama dia.”
“Jangan bilang suka dulu. Baru sehari ketemu. Aku sempat bingung. Kenapa aku bisa jadi sebahagia ini? Belum tentu dia orang baik. Belum tentu juga semua ceritanya jujur. Delapan tahun sama sekali enggak pernah ketemu sama aja kalau dia itu orang asing.”
“Perfect stranger.” Sarah tergelak. “Sepengetahuanku sih dia cowok baik, juga dari keluarga baik-baik. Lagian kalian sering bertukar komentar di banyak media sosial. Sering ngobrol di DM(3) instagram juga, kan.”
Aku mendengus. “Ardian juga baik dan dari keluarga baik-baik. Tapi, aku yang enggak dianggap baik sama keluarganya.”
“Enggak semua peristiwa akan berakhir sama, Jingga. Dijalani dulu aja.”