Edgar termasuk seorang pria yang jarang sekali berkomentar. Dia tidak pernah mempermasalahkan hal-hal yang tidak penting untuk dibahas dan tidak pernah membesar-besarkan masalah kecil. Tiga hal ini adalah sikap yang paling aku suka dari seorang pria.
Cerita kami tidak berhenti di Yogyakarta. Dia menepati janjinya untuk menemui Ayah tepat seminggu setelah kami pulang. Ayah menerima kedatangannya dengan suka cita. Ayah malah menyuruh kami menyegerakan pernikahan. Aku yang saat itu sama sekali tidak terpikir kalau Edgar bisa setangkas itu menyatakan niatnya, sangat menimbang-nimbang keputusan. Di samping aku sama sekali belum mengenal bagaimana sebenarnya sosok seorang Edgar. Aku juga masih takut untuk menjalin hubungan baru.
Ayah yang malah bersikeras meyakinkanku. Padahal, Ayah termasuk golongan orang tua yang tidak begitu peduli dengan masalah seperti ini. Bukan tidak peduli, tetapi memasrahkan semua keputusan di tanganku kalau menyangkut perihal pasangan. Namun, khusus untuk Edgar. Ayah langsung saja menyetujui hanya dari mendengar ceritaku saja. Apalagi saat Edgar berani datang ke rumah untuk menyatakan niat baiknya. Ayah langsung saja setuju tanpa bertanya kepadaku. Yang lebih mengejutkan lagi, Edgar mau mengajak kedua orang tuanya bertandang ke rumah bulan depan.
Aku termenung seraya menatap langit malam yang sedang tak bertabur bintang. Menyandarkan punggung berharap rasa pegal di badan dapat segera berkurang. Bukan nyaman yang dirasa, melainkan nyeri di bagian tengkuk malah semakin menjalar ke kepala. Akhir-akhir ini, aku memang sering ketiduran di meja kerja. Jarang sekali bisa tidur nyaman di dalam kamar. Hal ini yang membuat Mama dan Sarah jadi sering uring-uringan.
Memasuki bulan kedelapan, bisnis Seera Clothing menunjukkan kemajuan yang cukup pesat. Aku dan Sarah sedang bersemangat mengikuti banyak bazar atau acara yang diadakan oleh beberapa kampus dan instansi. Penghasilan yang didapat dari berkeliling bazar sangat menambah presentasi keuntungan. Lantaran kegiatan itu pula, bisnis ini semakin dikenal masyarakat luas. Pengikut di beberapa media sosial juga menunjukkan grafik yang bagus. Walaupun tidak sebanyak merek-merek terkenal. Setidaknya ada beberapa pelanggan loyal dan pembeli baru yang dapat menyeimbangkan perhitungan neraca setiap bulan.
Suara deritan gerbang membuyarkan lamunan singkatku malam ini. Motor matic berwarna hitam dengan perlahan memasuki halaman rumah. Aku mengintip dari balik tirai jendela kamar depan. Tampak Mas Aryo turun dari motor dengan membawa beberapa kantong plastik. Aku berusaha menerawang dari kejauhan untuk mengetahui apa isi kantong itu, sepertinya martabak daging.
Mas Aryo sontak terperanjat saat melihatku yang tiba-tiba muncul dengan raut wajah semringah. Dia menyodorkan tiga kantong plastik yang entah apa saja isinya. Ternyata tebakanku benar, ada martabak daging di salah satu kantong plastik itu. Aku meletakkan semua makanan itu di atas meja dapur, kemudian membuka kotak martabak yang paling atas. Seraya melahap potongan martabak dengan sekali suap, aku menatap Mas Aryo yang berjalan mendekat ke arahku. Dia menggelengkan kepala saat melihat mulutku yang dipenuhi martabak.
“Edgar harus siap menandon bahan makanan yang banyak. Porsi makanmu memang tak tertandingi.” Mas Aryo tergelak seraya mengamati sekitar. “Ke mana semua?”
“Tidur. Ini sudah jam sembilan malam, Bos.” Aku menunjuk jam dinding yang ada di belakang Mas Aryo. Dia refleks menoleh ke arah jam dinding berada, lalu menepuk pelan dahinya.
“Aku sudah janji sama Ayah buat datang jam delapan, tapi aku lupa.”
“Tenang aja. Ayah sudah tidur dari jam tujuh. Bisa jadi Ayah lupa.”
Aku masih berusaha menghabiskan martabak yang ada di mulut.
“Alhamdulillah.” Mas Aryo menepuk-nepuk dadanya. “Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu sama Edgar?”
“Baik,” jawabku dengan martabak yang masih di dalam mulut.
Mas Aryo mengerutkan dahi. “Baik, aja?”