Siang hari pada pertengahan bulan September. Edgar menepati lagi janjinya. Dia bertandang ke rumah dengan kedua orang tuanya. Percakapan antara kedua orang tua kami terbilang begitu hangat. Selera humor bapaknya Edgar sangat cocok dengan Ayah. Mereka berbincang seakan waktu siang tidak akan berganti malam. Aku hanya bisa tersenyum melihat respon mereka. Perbincangan serius pun juga menjadi hangat karena Ayah yang selalu menyelipkan humor-humor renyah di setiap kalimat.
Masing-masing pihak sepakat untuk melaksanakan acara lamaran pada bulan depan. Ayah menyarankan kami untuk segera memutuskan hari pernikahan yang tidak terlalu jauh dari hari lamaran. Semua pihak langsung saja menyepakati. Aku tidak banyak berkomentar. Di samping memang menyetujui kesepakatan itu, aku sendiri masih butuh waktu untuk memahami sosok seorang Edgar dengan rentang waktu satu bulan ke depan.
Setelah kegiatan ramah tamah selesai. Acara berlanjut dengan kegiatan makan-makan. Aku dan Edgar duduk berdampingan di kursi panjang yang berada di teras belakang.
“Terima kasih,” ucap Edgar seraya memandang hamparan rumput hijau yang mulai meninggi di taman belakang. “Sudah mengizinkanku melewati dinding pertahananmu.”
Aku tersenyum samar. “Sebenarnya, ada yang membuatku takut.”
“Apa?”
Aku mulai bercerita tentang Ardian. Dari pertemuan pertama kami di kampus hingga menjadi teman satu kantor. Lalu, peristiwa menghilangnya Ardian, pemutusan hubungan secara sepihak sampai ke kejadian amplop perpisahan yang terselip di buket mawar jingga beberapa waktu lalu. Tidak ada yang aku sembunyikan. Aku mengutarakan semua rasa takut yang sebenarnya masih menjalar di dalam urat hati. Berharap Edgar memahami maksudku dan tidak berbuat hal yang serupa.
“Kamu tenang aja. Aku enggak sejahat itu.” Edgar terkekeh. “Berdoa aja, semoga acara lamaran sampai pernikahan dilancarkan.” Dia menggenggam tanganku. “Mana mungkin aku menyiakan-nyiakan wanita sehebat kamu.”
Aku tergelak seraya memukul Edgar tepat di lengannya. “Halah! Ngomong tuh sama rumput.”
***
Suasana hening dipecahkan oleh suara deritan pintu dapur yang terdengar hingga ke ruang tengah. Aku beranjak dari sofa panjang dan berjalan cepat menuju dapur. Dahiku berkerut tatkala kudapati Yoda yang sudah basah kuyup. Tetesan air yang meluncur dari ujung celana pendeknya membentuk aliran sungai buatan di lantai, yang berpangkal dari pintu belakang hingga bermuara di kamar mandi.
“Enggak hujan kok basah kuyup?” tanyaku seraya mengambil handuk yang tersampir di depan kamar mandi. Kusodorkan handuk itu ke Yoda.