Berbelanja bibit bunga di toko langganan Kakek pada hari Minggu pagi seperti ini adalah hal yang paling menyebalkan. Yoda sengaja tidak memberitahuku kalau Kakek menyuruhnya mampir ke toko bunga terlebih dulu. Aku merutuknya habis-habisan, tapi dia malah menyengir lebar.
“Dari sekian banyak toko bunga seantero Batu, kenapa harus toko bunga ini, sih?” tanyaku seraya bersedekap.
“Sebentar aja. Aku mending kena omelanmu daripada omelan Kakek. Lagian, kamu ini konyol. Kakek enggak mungkin juga mau pindah toko kalau sudah langganan,” tukas Yoda seraya turun dari mobil.
Aku mengikutinya turun hingga ke batas pintu masuk. “Tahu gitu, aku bawa mobil sendiri.”
Dia menoleh. “Tunggu di dalam mobil aja kalau enggak mau ikut masuk. Daripada nanti teringat kenangan masa lalu,” imbuhnya seraya tergelak puas.
Aku mendengus kesal seraya berbalik badan. Bruk! Aku menabrak seorang pria jangkung yang sepertinya sedang terpaku ke layar ponselnya. Kami sama-sama tidak memperhatikan jalan. Pria itu melempar cengiran saat mendapatiku menyipitkan kedua mata. Celana skinny jeans berwarna biru dongker selalu menjadi pilihan pria ini dalam banyak kondisi. Terkadang, aku bertanya-tanya. Untuk ukuran anak konglomerat real estate dan seorang bos muda pemilik restoran mewah yang sangat mencintai mode, pria ini malah menumpuk celana dengan model dan warna yang sama. Kalian pasti sudah bisa menebak siapa pria yang lagi-lagi tidak sengaja kutemui. Takdir memang selalu sengaja menyeretku ke dalam pertemuan menyebalkan seperti ini.
“Wah! Langka banget, seorang Jingga sudah ada di toko bunga pagi-pagi begini.” Randy memasukkan ponselnya ke saku celana.
“Astaga. Kenapa harus ketemu kamu lagi, sih? Aku jadi pengin pindah rumah aja kalau begini ceritanya atau pindah planet sekalian.”
“Ini yang namanya takdir. Enggak perlu repot pindah rumah. Ingat waktu kita ketemu di Labuan Bajo? Kita enggak janjian, tapi tetap aja ketemu di sana. Di dunia ini, enggak ada yang namanya kebetulan, Jingga.”
Benar. Waktu itu, aku iseng mengajak Yoda dan Sarah untuk menghabiskan liburan panjang akhir minggu ke Pulau Komodo, termasuk ke Labuan Bajo. Kami tidak sengaja bertemu dengan Randy saat akan menyelam di Manta Point.
Aku berdecak sebal sebelum berlalu meninggalkan Randy. Namun, dia berhasil menahan tanganku. Dia berjalan ke dalam bangunan utama toko bunga ini dengan menggenggam pergelangan tanganku. Aku berusaha mencari-cari keberadaan Yoda untuk menyelamatkanku dari pria iseng ini. Ternyata, Yoda sedang berada di bangunan sebelah. Tempat aneka bibit tanaman dihamparkan.
Randy sekilas menatapku “Aku mau ngomong serius.”
Dia masih menggenggam pergelangan tanganku. Aku mengerjap beberapa kali seraya menelan ludah. Tatapan mata itu cukup berhasil membuatku terpaku seperti menatap senyumannya tempo hari. Aku buru-buru membuang muka dan berusaha melepaskan genggamannya.
“Dilarang pegang-pegang tangan calon istri orang,” rutukku.