Awalnya, aku menganggap Lina sebagai sosok gadis yang lemah lembut. Dia memang memiliki perangai yang baik juga sangat sopan. Ternyata anggapan itu sangat jauh dari ekspektasi. Dia termasuk seorang gadis muda yang sangat menyebalkan. Gadis ini sering kali membentak Bu Yayuk dan karyawan lain kalau tindakan mereka ada yang tidak sesuai dengan apa yang dia mau. Aku memang tidak rutin mengawasi gadis itu selama dua bulan belakangan ini. Aku hanya muncul saat mengecek laporan pengiriman barang jadi dan bahan baku pada waktu pagi dan siang menjelang sore. Aku baru benar-benar menyadari sikap gadis itu saat melihat dengan mata kepalaku sendiri dua minggu lalu. Dia berani membentak Bu Yayuk hanya lantaran menjatuhkan jaketnya ke lantai.
Siang ini, saat aku baru datang untuk mengecek pengiriman yang kemarin sempat mendapatkan keluhan dari pembeli. Aku mendapati Lina tengah membentak Bu Yayuk karena salah membeli makanan yang dia pesan.
“Ada ribut apa lagi ini!” hardikku seraya berjalan menghampiri suara ribut di sudut ruangan.
Lina sontak mengatupkan bibirnya. Dia lalu menyahut kantong plastik yang digenggam Bu Yayuk. Wanita yang bulan lalu baru saja menginjak kepala empat itu mengepalkan tangannya seraya menggeleng pelan. Air mukanya merah padam menahan amarah. Aku menepuk pelan bahunya untuk menenangkan suasana. Dia berusaha menampakkan seulas senyuman getir.
Hari ini, Lina izin pulang lebih awal untuk merawat ibunya yang sedang sakit. Aku izinkan saja dia pulang daripada semakin membuat onar. Tidak lama setelah dia hilang dari pandangan, Bu Yayuk menghampiriku yang sedang mengecek stok barang jadi di ruang depan. Wajahnya begitu serius.
“Ada apa, Bu?” tanyaku seraya meletakkan buku catatan. Kami duduk berhadapan.
Dia membenarkan posisi duduknya supaya lebih dekat denganku.
“Begini, Mbak. Masalah Lina ....” Bu Yayuk seperti ragu untuk menyampaikan unek-uneknya.
Aku mengetahui ke mana arah pembicaraan ini. “Iya, Bu. aku tahu,” ucapku dengan menepuk-nepuk pelan tangannya.
“Anak itu sering berulah. Mau menangnya sendiri. Banyak peraturan yang membuat kami jadi terbatas untuk bergerak.”
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Ratih datang dan duduk bersila di depanku.
“Kemarin, dia sama sekali enggak bantuin packing barang yang mau dikirim, Mbak. Terus, siangnya malah ngomel-ngomel enggak jelas. Cuma karena rasa rujak yang enggak sesuai seleranya. Dia juga suka menyuruh atau mengatur kami semua. Harus begini, harus begitu. Suka banget marah-marah. Saya enggak tahan, Mbak.” Ratih bercerita dengan nada yang bersungut-sungut. Bersamaan dengan Inge dan Ela yang juga ikut-ikutan duduk bersila di sebelahku. Kami membentuk lingkaran kecil.
“Pasti lagi bahas si Bos Kecil itu,” celetuk Ela sebelum memanyunkan bibirnya.