Pemandangan kota tidak begitu padat pada hari Senin sore ini. Udara cukup bersahabat dengan angin yang menyapu wajah secara perlahan. Belum lagi sang surya yang hari ini masih bertahan menhamparkan sinarnya. Mengingat musim penghujan masih baru melewati puncaknya. Curah hujan biasanya masih sangat tinggi di waktu itu.
Edgar yang hampir dua bulan belakangan ini sulit sekali diajak bersua, akhirnya bisa menyempatkan waktunya sore ini. Aku diminta menemaninya mencari kado ulang tahun untuk ibunya. Setelah berkeliling dari satu toko ke toko yang lain, akhirnya kami menemukan dua gamis cantik berwarna biru laut dan kuning kunyit. Setelah itu, kami meredam para pendemo di dalam perut dengan berhenti di salah satu warung lalapan.
Kami duduk bersebelahan, tapi tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku sedang mengamati dua orang wanita paruh baya yang berada di meja depan. Mereka sedang asyik menceritakan tetangga sebelah rumah mereka yang menjengkelkan. Seolah-olah hanya mereka berdua yang berada di dalam warung ini. Sedangkan, Edgar masih menekuri ponselnya sedari tadi. Pandangannya tidak beralih sedikit pun sejak kami tiba hingga pesanan datang. Bahkan, kami tidak berbicara sepatah kata pun.
“Kamu jadi susah diajak ketemuan akhir-akhir ini.”
Ucapanku membuat Edgar seketika meletakkan ponselnya di atas meja.
“Lah ini kita sudah ketemu,” jawabnya seraya mencuci tangan di wadah kecil yang sudah disediakan oleh pemilik warung.
Edgar sempat melemparkan senyuman hangat. Wajah hangat itu sudah tidak mampu melunturkan kejengkelanku. Wajah itu seperti hanya dibuat-buat. Kehangatan itu hanya berlaku di awal-awal hubungan saja. Setelah itu malah sedingin Benua Antarktika. Satu bulan belakangan ini, dia malah hanya memberi kabar kalau mau berangkat bekerja dan saat malam sebelum tidur saja. Dan, yang paling sering terjadi, dia hanya merincikan jadwalnya kepadaku, lalu menghilang entah ke mana. Aku rasanya tidak lebih dari sebuah pesan suara dan papan jadwalnya saja.
“Kamu muncul cuma pamit mau berangkat, terus hilang. Muncul lagi sebentar waktu mau tidur doang. Atau ....” Aku sengaja menggantung kalimatku untuk membasahi kerongonganku dengan jeruk hangat. “Mengirim semua jadwalmu hari itu. Belum sempat aku menjawab, sudah menghilang lagi dan lagi. Berulang kali kayak gitu,” imbuhku dengan memotong bebek goreng yang masih panas dengan jari.
“Yang penting kan aku sudah pamit.”
Aku mencampur sambal ke atas nasi dan bebek yang sudah aku suwir terlebih dulu. “Aku merasa kalau cuma sebatas jadi pesan suara atau papan jadwalmu aja.”
“Jangan bilang gitu. Semua itu cuma perasaanmu aja, Jingga-ku sayang.”
Aku melengos. “Kita belum nikah dan serumah aja kamu sudah kayak gini cueknya,” rutukku. “Kalau sudah nikah malah menjadi-jadi.”
“Enggak mungkin, lah. Aku enggak mungkin menyia-nyiakan guling hidup yang sudah halal,” selorohnya.
“Jadi, kamu mau nikah cuma karena pengin punya guling hidup doang yang bisa bebas diapa-apain?”
“Enggak gitu juga. Mulai besok, aku enggak gitu lagi, deh. Ngomelnya berhenti dulu. Kita makan dulu, ya.”
Aku mencebikkan bibir. “Kamu itu banyak alasan. Sudah berulang kali janji, tapi enggak berubah.”