Lina mengajukan surat pengunduran diri kepadaku seminggu yang lalu. Kemarin adalah hari terakhirnya bekerja. Katanya, dia sudah menemukan pekerjaan yang lebih cocok. dia juga bilang kalau pekerjaan itu lebih baik dari sekadar menjadi seorang admin toko online. Alasan yang cukup pongah, pikirku. Namun, aku sendiri tidak akan melarangnya pergi. Dia berhak mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik. Aku sendiri juga tidak merasa begitu kehilangan. Mengingat sikapnya yang kerap kali membuat jengkel banyak orang. Walaupun, dia sudah lebih rajin mengerjakan laporan keuangan dan sudah tidak lagi meninggalkan tanggung jawab pekerjaan. Etika dalam lingkungan kerja harus tetap dikedepankan. Percuma juga kalau dia rajin dan pintar, tapi tak beretika.
Air muka Sarah sudah muram pagi-pagi begini. Dia berjalan melewatiku tanpa menyapa. Aku mengernyit seraya mengamati gerakan tubuhnya. Sebentar kemudian, Inge, Ela dan Ratih datang, diikuti Bu Yayuk di belakangnya. Mereka lalu meletakkan tas di lemari panjang yang berada di sudut ruangan. Aku membalas sapaan mereka dengan melempar senyuman. Perhatianku beralih lagi ke Sarah. Dia menekuri ponselnya sebelum membuka laptop yang ada di atas meja. Pandangan Sarah hanya tertuju ke layar ponsel dan layar laptop. Setelah lima belas menit berlalu masih dengan posisi yang sama. Aku mulai bosan dan beranjak ke dapur untuk membuat teh lemon hangat.
“Aneh. Kenapa presentase penjualan jadi merosot begini?”
Langkahku terhenti. “Tapi, jadwal pengiriman masih sama, juga dengan jumlah yang sama ....” Aku menghentikan kata-kataku. “Maksudku, memang berkurang. Aku rasa enggak banyak.”
“Kalau masalah angka begini jangan main perasaan. Kalau masalah cowok aja kamu enggak mudah terbawa perasaan. Laporan ini harus data pasti.”
Aku sontak tergelak.
“Jadi, data pastinya berkurang berapa? aku cuma mau dengar angka bukan kira-kira.”
Kali ini suara Sarah jadi tegas dan agak garang.
Aku menggeleng pelan. “Lina yang biasanya menghitung. Aku cuma manut aja.” Saat Sarah menepuk pelan dahinya, aku buru-buru menimpali, “sori, aku enggak meneliti setiap laporan yang disetorkan.”
Sarah terdiam sejenak seraya bersedekap. Dia lalu membuka laci di lemari panjang dekat meja. Dia mengeluarkan semua nota yang tersimpan di dalam sana.
“Mungkin penjualan merosot karena beberapa bulan lalu sempat ada masalah,” ucapku seraya membenarkan posisi duduk. “Lina bikin ulah. Dia sering terlambat membalas pesanan dari pelanggan. Aku memang sengaja enggak cerita dulu soal ini. Karena kamu pasti bakal pecat dia. Sedangkan, kita butuh dia untuk membuat laporan bulanan.”
Sarah menggeleng-gelengkan kepala seraya tergelak. “Aku enggak sekejam itu.”
“Tapi untuk urusan kayak gini, sebenarnya kamu bisa lebih tega daripada aku.”
“Jadi, kamu lebih memilih mengorbankan bisnismu yang menopang hidup banyak orang ini demi karyawan yang enggak kompeten kayak dia?”
“Bukan begitu ....”
“Aku tahu, karena kalau kita pecat dia jadi enggak ada yang buat laporan. Sementara cari karyawan juga susah-susah gampang. Tapi, kita harus berani menyingkirkan satu akar beracun demi keselamatan banyak orang.”