Cerita Dinda tentang Edgar semalam, masih terngiang-ngiang di kepalaku. Terus berputar seperti DVD yang tidak terdapat tombol pause. Bahkan, suara Dinda masih terdengar jelas di telingaku. Aku jadi teringat ucapan Randy.
“Aku ikut senang kalau akhirnya kamu sudah menemukan pengganti Ardian.”
Apa Edgar bisa dikatakan berhasil menggantikan posisi Ardian? Rasanya, aku tidak bisa mengakui kalau Edgar bisa membuatku kembali menemukan pengganti. Aku menelan ludah. Dadaku rasanya terbakar saat menyadari sebuah kemungkinan, kalau aku mungkin sedang terbawa suasana. Aku belum bisa benar-benar mencintai Edgar seperti aku mencintai Ardian.
Apakah sikap Edgar yang akhir-akhir ini menjadi cuek karena sudah bosan denganku?
Aku menghirup udara dingin yang menyeruak masuk di antara ventilasi kamar untuk mengembalikan kesadaran. Seraya bersiap untuk melakukan jadwal rutinan berlari lima putaran keliling lapangan sebelah komplek. Aku ingin mengesampingan segala bentuk asumsi tentang Edgar. Semua pikiran dan tenagaku hari ini hanya untuk bisnis dan segala perbaikannya. Namun, rencana itu sirna tatkala Edgar tahu-tahu datang ke rumah dengan mengenakan baju olahraga lengkap. Masih ada keringat yang belum kering di sekitar dahinya. Aku menyodorkan handuk bersih untuk membersihkan sisa-sisa keringatnya itu.
“Ada apa datang kemari?” tanyaku ketus.
Edgar mengangkat sebelah alisnya. “Jelas buat ketemu sama kamu, Sayang.”
Aku masih menatap lekat matanya. Dari pengalaman mengamati sekian banyak peristiwa kebohongan yang dibuat oleh beberapa orang. Kali ini gerakan matanya tidak akan bisa lolos dari pengamatanku. Firasatku menandakan kalau ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan.
“Sebenarnya, dari alasanmu yang banyak jadwal itu, pasti ada alasan yang sebenarnya. Kenapa jadi cuek banget belakangan ini? Sampai menghindari pembahasan tentang tanggal pernikahan. Kalau aku atau keluargaku pernah salah berucap yang membuatmu sakit hati, coba diungkapkan sekarang. Atau ....” Aku sengaja menghentikan kalimatku untuk mengatur napas. “Kalau ada orang lain yang membuatmu lebih nyaman. Silakan pergi sama dia. We’re done.”
Edgar dengan cepat menggelengkan kepala seraya membeliak. “Yang benar aja. Enggak ada orang lain dan enggak ada yang salah berucap. Masalahnya cuma ada di aku. Aku cuma belum bisa cerita masalah ini sekarang. Kita kesampingkan masalah ini dulu. Aku cuma mau ketemu sama kamu. Itu aja.” Dia menggenggam tanganku.
Setelah bertukar pandang, kami terdiam beberapa saat. Aku masih dalam posisi duduk bersandar di kursi teras depan rumah seraya membiarkan Edgar mengeratkan genggamannya. Aku sama sekali tidak merasakan getaran atau letupan-letupan degupan irama jantung yang sering ditanyakan Yoda. Pandanganku berselancar di antara ranting-ranting pohon nangka milik tetangga sebelah.
“Ada yang bilang ke aku, kalau kamu itu suka gonta-ganti pasangan. Menggebu-gebu di awal habis itu menghilang karena bosan. Lalu, pindah ke hati cewek lain,” celetukku memecah keheningan.
“Siapa yang bilang?”
“Apa karena sudah bosan sama aku, makanya kamu jadi cuek begini? Kita ini sama sekali enggak pernah jalan berdua. Aku minta ditemani ke mana sebentar juga enggak bisa meluangkan waktu.”
“Pernah, kita di Jogja itu bisa dihitung jalan bareng. Lagian, kamu kan bisa bawa mobil atau motor sendiri. Masa apa-apa harus sama aku?”
“Bukan gitu. Aku memang bisa kemana-mana sendiri. Bahkan, solo traveling ke Antarktika juga bisa berangkat sendiri. Tapi, bukan soal itu, Bro. Bukan soal aku yang bisa kemana-mana sendiri. Ini soal hubungan kita, soal kamu yang sama sekali enggak bisa sedikit pun menyempatkan waktu.”
“Kamu mulai lagi, kan. Siapa sih yang bilang? Kamu lebih percaya sama narasumbermu itu daripada aku tunanganmu sendiri?”