Dengan alamat seadanya, kami akhirnya sampai di depan rumah sederhana bercat putih tanpa pagar. Terdapat tanaman anggrek yang tergantung dan berjajar rapi di sisi kanan rumah. Di samping pintu rumah juga terdapat bunga mawar beraneka warna yang ditanam di pot-pot kecil. Kalau dilihat dari kelopak mawar yang begitu rapi dan sedap dipandang. Agaknya, si penghuni rumah sangat telaten merawat semua tanamannya. Aku jadi tidak yakin kalau rumah ini adalah rumah yang benar. Edgar berulang kali mengetuk pintu sangat keras. Namun, sang penghuni rumah tidak pula menampakkan diri. Edgar akhirnya menyerah diketukan keenam.
Aku berjalan menghampiri dua pria paruh baya yang sedang bercengkerama di depan pos ronda. Berharap dua orang ini bisa memberi informasi. Namun, mereka sama sekali tidak tahu soal gadis bernama Lina. Rumah yang kami datangi tadi adalah rumah pengantin baru yang baru saja pindah seminggu lalu. Mereka sedang bekerja dan baru ada di rumah lepas asar atau sebelum magrib. Seusai berpindah dari satu gang ke gang yang lain, kami tak kunjung menemukan hasil. Aku lalu mengajak Edgar dan Ratih untuk mendatangi rumah kakak Lina. Siapa tahu Lina sedang berada di rumah kakaknya.
Sebuah truk besar pengangkut tebu tengah mogok tepat di jalan utama Surabaya-Malang. Menghambat lalu lintas sepanjang delapan kilometer. Suara yang dihasilkan klakson yang keras bercampur dengan udara siang yang panas membuat benakku semakin tidak karuan. Dengan keadaan macet seperti ini, untuk bisa mencapai rumah kakak Lina masih dibutuhkan waktu sekitar satu jam lagi. Aku rasanya sudah tidak sabar ingin memaki gadis tengil itu.
Edgar membelokkan mobil ke arah jalan alternatif yang bisa memotong waktu kami untuk segera sampai ke tempat tujuan. Memang benar. Walaupun banyak orang yang berinisatif melewati jalan yang sama, setidaknya bisa lebih cepat sampai. Daripada harus pasrah melewati jalan utama dengan kemacetan yang parah seperti itu.
Kami berdiri tepat di depan gerbang rumah besar bergaya minimalis modern. Aku mengamati setiap sudut dari tampak depan yang terlihat. Rumah ini sangat mewah, menurutku. Dengan kondisi keuangan Lina yang hampir setiap hari mengeluh tentang biaya kehidupan sehari-hari dan biaya kuliahnya, ironis sekali rasanya saat melihat kakaknya tinggal di rumah gedongan seperti ini. Aku menekan bel yang terpampang di dinding bagian kiri. Sebentar kemudian, seorang wanita paruh baya mengintip dari lubang bundar yang terletak di sebelah pegangan gerbang. Aku mengenalkan diri dan menyatakan maksud kedatanganku untuk bertemu dengan sang pemilik rumah.
Kesan minimalis sangat terasa saat kami masuk ke dalam rumah ini. Ruang tamu yang luas dan tidak banyak ornamen yang terpajang. Sofa panjang berwarna abu-abu tua yang terletak di sisi kiri ruang ini bertengger cantik di atas karpet berbulu berwarna putih gading. Di sebelahnya ada sofa tunggal berwarna hitam. Di balik sofa itu terdapat dinding dengan kaligrafi arab yang dibingkai dengan pigura sederhana, yang juga berwarna hitam. Di sisi kanan terdapat meja kecil yang masih berwarna hitam dan cermin besar tanpa bingkai. Di atas meja itu terdapat pigura-pigura kecil foto hitam putih. Dari foto itu, sepertinya pemilik rumah suka bepergian ke luar negeri.
Setelah pemilik rumah yang bernama Bimo menceritakan semuanya. Aku baru menyadari kalau Lina adalah seorang penipu ulung. Kakak Lina yang bernama Indah bekerja sebagai baby sitter di rumah Bimo selama dua tahun belakangan ini. Dia sudah mengundurkan diri sekitar satu bulan lalu lantaran mau membuka usaha toko baju online. Dia sama sekali tidak mengetahui tentang keberadaan Indah dan adiknya itu. Lina memang sering berkunjung untuk membantu Indah menjaga bayi kembar Bimo. Dia hanya tahu sebatas itu. Dengan hati pasrah, aku mengajak Edgar dan Ratih bergegas pulang.
Aku, Edgar, dan Sarah duduk berjajar di sofa ruang tamu seraya memeriksa laporan keuangan per enam bulan terakhir. Mengamati setiap angka dan nota yang tersimpan. Setelah di cek berulang kali, akhirnya kami menemukan beberapa laporan yang janggal. Lina mengganti nota yang tertulis di atas kertas yang tidak berlogo supaya tidak mudah ketahuan. Sarah dengan cepat mengenali goresan tangan Lina di beberapa nota palsu itu. Selain itu, dia juga memanipulasi pengeluaran dengan nota-nota palsu yang lain. Satu kesalahan fatal bertambah. Aku lagi-lagi terlewat sesuatu dan selalu tidak teliti.