Cuaca siang ini tidak terlalu panas dan bisa dibilang cukup segar. Satu minggu ini kulewati dengan detik-detik yang memuakkan. Aku berdiri memandangi papan tulis berisi tentang semua resolusi yang seharusnya tercapai pada pertengahan tahun ini. Semua tulisan itu hanya akan menjadi sebuah goresan tangan tiada arti. Rasanya seperti ingin memarahi, memaki, dan memukuli diri sendiri. Di samping itu, aku masih belum menemukan keberadaan Lina. Aku juga masih bertahan tidak melapor ke pihak yang berwajib. Apalagi per hari ini kegiatan produksi sudah tidak berjalan sama sekali. Dengan terpaksa, para karyawan diliburkan untuk sementara waktu. Hatiku seolah patah berkeping-keping.
Selagi pikiranku masih sibuk dengan tulisan-tulisan di papan, Sarah berjalan pelan memasuki ruangan. Sarah masih meracau perihal uang modal dan keengganannya menerima bagian yang seharusnya dia dapat. Aku sudah mengirim semua haknya itu ke rekeningnya tadi siang. Aku tidak mempedulikan omelannya. Walaupun tabungan sudah mendekati minus, setidaknya kewajibanku membayar gaji karyawan sudah beres.
“Bagaimana kalau hutang bank?” pertanyaan itu begitu mudah terlontar dari mulut Sarah.
Aku sontak menoleh. “Jangan bawa hutang bank buat melunasi hutang. Kamu masih ingat masalah yang dialami Ayah dulu? Sampai mati pun aku enggak bakal mengulangi kesalahan Ayah di kehidupanku.”
Sarah terdiam. Tangannya bersedekap, matanya menerawang jauh, memandang sinar mentari yang menembus jendela kamar.
“Tapi, ada juga kok orang yang berhutang dan bertanggung jawab sama pembayaran angsurannya.”
“Ya karena ada yang buat bayar. Lah, kalau aku? Mau bayar pakai apa coba? Dalam kasus ini berhutang enggak bakal menyelesaikan masalah.”
Sarah menghela desah. “Aku sudah pernah bilang. Jangan terlalu mengejar pembuktian. Jangan terobsesi dengan pembalasan dendam. Jangan mudah percaya dengan orang–”
“Sudahlah! Kamu bisa ngomong kayak gitu karena enggak pernah tahu rasanya diremehkan, enggak didukung, bahkan sama ayah sendiri. Setiap hari selalu tanya tentang progres, progres, dan progres. Kalau angka penghasilan menurun, aku selalu disalah-salahkan. Pendapatan bisnis kan enggak selalu linear kayak gaji karyawan. Pasti ada naik turunnya.”
Sarah mengatupkan bibirnya sejenak. Aku memang tidak pernah bercerita tentang bagian yang ini.
“Mungkin karena kamu terlihat kurang fokus dan terlalu santai,” timpalnya.
“Oh, sekarang kamu juga ikut-ikutan nyalahin aku? Kamu cukup jadi menantu kesayangan Ayah aja. Jangan sok-sokan menceramahiku sekali pun aku ini sekarang jadi adik iparmu. Aku punya jalan hidupku sendiri.” Aku menghirup udara sedalam mungkin. “Kamu juga enggak pernah dibanding-bandingkan sama sahabatmu sendiri yang sekarang jadi kakak iparmu dari mulut ayahmu sendiri kan. Kenapa aku enggak bisa selembut Sarah, kenapa aku enggak bisa seceria Sarah dan kenapa, kenapa yang lain. Posisimu cukup di situ, Sarah. Jangan pernah melewati batas!”
“Aku enggak pernah bermaksud menyalahkanmu. Aku cuma mengingatkanmu,” timpal Sarah sebelum melenggang pergi.
Aku sempat melihat sebutir air mata yang sudah berada di sudut matanya. Semuanya memang kacau. Bahkan, aku tidak bisa mengendalikan mulutku di depan sahabat yang sudah menemaniku selama belasan tahun ini. Aku mengalihkan pandanganku ke sepenjuru ruangan. Masih terdapat tumpukan gulungan kain di salah satu sisi. Di atas meja panjang terdapat baju-baju berserakan yang gagal produksi. Pikiranku melayang jauh kepada impian yang tiba-tiba runtuh dan hancur berserakan.
Bagaimana caranya melunasi semua hutangku ke Koko Atong?
***
Aku berjalan dengan cepat menyusuri jalanan batako komplek perumahan. Aku memang sengaja memilih berjalan kaki daripada menggunakan motor. Mengingat akhir-akhir ini, tubuhku membutuhkan lebih banyak endorfin. Aku juga berusaha sesering mungkin untuk melakukan gerakan fisik, terlebih menambah jadwal lari pagiku. Langkahku terhenti tepat di depan gerobak penjual martabak dan roti bakar yang berada di halaman minimarket tepat di seberang komplek perumahan.
Aku berusaha mengesampingkan hasrat menyantap martabak daging yang berhasil membuatku berulang kali menelan ludah. Akhirnya, aku memesan roti bakar dengan selai cokelat karena harganya yang lebih murah dibandingkan harga martabak manis apalagi martabak daging. Lagi pula, aku juga sedang butuh makanan manis. Aku seharusnya tidak menghabiskan uang seperti ini, pikirku. Aku mengedikkan bahu seraya berusaha tidak mengindahkan pikiranku sendiri. Anggap saja roti bakar yang tidak sampai lima belas ribu ini menjadi sebuah penghargaan untuk diriku sendiri yang sudah cukup berhasil melewati hari-hari yang menegangkan.
Selagi aku melahap roti bakar di teras minimarket, getar dari ponsel yang berada di saku celana cukup membuatku tersentak. Randy.