Aku baru saja merampungkan sesi long run alias lari jarak jauh pada Minggu pagi yang cukup terik. Aku sengaja mengambil rute jalan batako komplek perumahan dan gang-gang kampung untuk menghindari rute tanjakan. Namun, berlari di Kota Malang cukup mustahil jika tak menjumpai jalan menanjak. Apalagi harus berlari sejauh lima belas kilometer atau lebih. Pencapaian kecepatanku minggu ini lebih lambat dari biasanya, bahkan sangat lambat. Tujuh menit per satu kilometer. Total, aku memerlukan waktu satu jam empat puluh lima menit untuk mencapai target lima belas kilometer. Kalau saja Edgar tidak menelepon, aku mungkin sudah merampungkan jarak tempuh half marathon sejauh dua puluh satu kilometer pagi ini.
Seraya menunggu Edgar datang, aku berselancar menyusuri lini masa instagram. Unggahan pertama yang kubaca malah berhasil menamparku telak.
“If someone correct you, and you feel ofended. You have an ego problem.” – Matthew McConaughey.
Aku jadi teringat ucapan Randy kemarin sore. Bukan. Bukan ucapannya, melainkan tatapan matanya. Aku harus menghindarinya sebisa mungkin. Berharap adegan pertemuan yang tidak disengaja juga berhenti untuk mengajakku bercanda.
Awan mendung mulai merengkuh erat. Aku masih duduk belunjur di sofa panjang dekat jendela ruang kerjaku seraya memandang langit yang mulai mengelabu. Mendadak, keinginan pergi jauh entah ke mana kian membuncah. Agaknya, menghilang sejenak cukup memberiku ruang untuk bernapas. Lalu, kembali pulang dengan harapan semua masalah akan terselesaikan.
Selintas kemudian, terdengar suara langkah kaki menapaki lorong pemisah antara rumah utama dan ruangan kerjaku. Aku menoleh ke arah suara itu. Edgar sudah berdiri tepat di tengah ruangan di balik meja panjang. Pikiranku terlalu jauh berkelana sehingga tidak menyadari kedatangannya. Aku jadi merasa asing dengan wajah pria yang sekarang tengah duduk di sampingku. Aku menurunkan kaki dan beringsut mendekatinya.
“Rasanya sudah seratus abad enggak lihat hidung bangir ini.” Aku menyentuh hidung Edgar dengan telunjuk, lalu meremas lengannya. “Kamu baru ingat aku? Kok baru mau ketemu hari ini?”
“Bukan baru mau ketemu, tapi baru bisa ketemu. Aku besok ambil cuti biar kita bisa jalan-jalan.” Edgar mengedipkan sebelah matanya.
Aku mencebikkan bibir. “Jangan PHP. Aku enggak mau berharap, nanti bikin kecewa. Kamu ingat terakhir kali kamu cuti? Kita terpaksa menunda acara pergi ke pantai karena kamu enggak jadi cuti.”
“Enggak bakal begitu lagi, Sayang.”
“Halah! Aku tetap enggak bisa percaya sebelum rencana besok berjalan lancar. Ayo temani aku ke rumah Kakek. Aku kangen sama Kakek.”
“Enggak kangen sama aku?”
Aku beranjak dari sofa, lalu mengambil kardigan yang tersampir di gagang lemari. “Rugi kangen sama kamu. Buang-buang energiku aja.”
***
Aku dan Edgar langsung masuk dari pintu samping menuju halaman belakang, karena pintu depan selalu terkunci. Rumah Kakek tampak lebih sunyi dari biasanya. Setelah celingukan di teras belakang, kami berjalan melewati meja makan. Edgar menghentikan langkahnya di tengah ruangan sebelum berbelok ke dapur. Aku mendapati Yoda yang sedang tidur di sofa ruang tengah. Kalau diamati dari cara tidur dan dengkuran halusnya, dia mendapatkan jatah tidur siang yang sangat pulas. Aku lalu membuka pintu kamar Kakek dengan perlahan. Kakek juga sedang tidur. Aku hanya melihat dari sela pintu yang sedikit terbuka. Posisi tidur Kakek memunggungi arah pintu. Agaknya, Kakek juga tidur sangat lelap siang ini.
“Yoda sama Kakek lagi tidur,” ucapku saat sudah berada di dapur.
“Tumben banget Kakek tidur siang,” ucap Edgar sembari mencicip salah satu kue kering yang ada di meja dapur.
Aku mengedikkan bahu. “Enggak tahu. Lagi capek banget, mungkin.”