Koko Atong sudah bertengger di balik meja kasir toko. Dia bergegas turun dari singgahsananya saat melihatku datang. Kami duduk di teras belakang ruko seraya menyesap teh manis hangat. Kalau dalam situasi seperti ini, teh manis jadi terasa pahit sekali.
“Aku turut berduka atas meninggalnya Pak Imam,” ucap Koko Atong seraya menepuk pelan pundakku.
“Terima kasih, Ko. Ngomong-ngomong, karangan bunga dari Koko paling bagus dan cantik sendiri.”
Koko Atong tergelak pelan. “Beliau itu top banget dan enggak ada duanya. Jadi, karangan bunganya juga harus yang spesial. Aku masih ingat betul, setelah berulang kali bangkrut. Akhirnya, toko sembakonya bisa buka lagi, walaupun belum besar. Beliau sendiri yang mengangkat kardus-kardus bahan pokok ke mobil bak dan mengantarnya sendiri. Kalau enggak salah, karyawannya masih satu. Kamu belum lahir. Ayahmu aja masih kelas satu SMA. Sekarang, siapa yang enggak tahu toko sembako Haji Imam di Pasar Besar? Toko paling lengkap dengan pelayanan terbaik. Pak Imam ini tipe-tipe pekerja keras kayak kamu, Jingga.”
Aku tersenyum simpul. “Kayak aku? Pekerja keras apanya, Ko. Pembuat masalah yang benar.”
“Bisnis memang begini. Enggak pasti. Kamu harus kuat mental, harus tekun juga sabar.” Koko Atong mengepalkan kedua tangannya untuk menyemangatiku. “Ngomong-ngomong, apa sudah ada kabar soal Lina? Laporkan polisi saja.”
Aku menggeleng. “Belum. Yang lebih penting sekarang itu hutangku ke Koko.”
“Sebenarnya, ini kan bukan hutangmu, tapi hutang dia.”
“Tetap aja jadi tanggung jawabku. Masalahnya, dia juga memanipulasi laporan keuangan. Ini karena aku yang teledor, sih. Membiarkan orang lain yang mengurus laporan.” Aku menghela napas kasar. “Soal tagihan yang kemarin itu, tetap aku bayar, Ko. Tapi, dengan mengangsur setiap bulan. Bagaimana?”
Aku tidak bisa mendeskripsikan apakah Koko Atong mengangguk atau menggeleng samar. Dahinya berkerut.
“Kalau perlu, kita ke notaris buat perjanjian hutang–”
“Lapor polisi saja dulu. Biar Lina itu cepat ditemukan. Jangan biarkan dia kabur begitu saja, Jingga.”
“Iya, tapi aku tetap yang akan bertanggung jawab bayar tagihan itu, Ko.”
Koko Atong hanya melempar senyuman. “Bayar seadanya dulu.”
“Kita harus tetap buat perjanjian ke notaris aja, Ko. Masalah uang ini sensitif banget. Hubungan kita sudah baik sejak lama. Biar sama-sama aman. Biar hubungan tetap langgeng, kalau bisa turun temurun.”
Koko Atong tergelak. “Mirip banget kayak Pak Imam.”
Setelah menyepakati beberapa hal dengan Koko Atong, aku buru-buru berpamitan. Aku bergegas pulang ke rumah Kakek.
Sudah seminggu tanpa Kakek, aku begitu merindukannya.
Aku berhenti di salah satu swalayan yang tidak jauh dari rumah Kakek. Selepas membeli es krim, aku duduk di kursi yang berada di teras swalayan itu. Es krim ini cukup mengembalikan suasana hatiku. Setidaknya bisa melempar sejenak deretan masalah yang akhir-akhir ini jadi gemar merengkuhku.